Rabu, 29 Oktober 2014

makalah (proses pengumpulan dan pembukuan al qur'an)

PROSES PENGUMPULAN DAN PEMBUKUAN AL QUR’AN

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Dr. Adri Efferi M.Ag.



 









Disusun oleh:
1.                   Faizatun Ni’mah                     (1410110058)
2.                   Wahyu Utomo                                    (1410110060)
3.                   Mujuati                                    (1410110067)
4.                   Ristiana Nisa’                          (1410110074)
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/ PAI
TAHUN 2014

 BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang Masalah
Pada Zaman Rasulullah, Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukunan seperti sekarang. Namun disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an dimulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan didalam satu Mushaf. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis. Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini.
Peninggalan Nabi pun hanya mewariskan dokument tulisan dari benda-benda sebagaimana tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada Khalifah Abu Bakar As-Siddiq yang tidak lengkap. Berangkat dari bayaknya sahabat nabi yang tewas dalam peperangan (dikenal dengan perang yamamah) sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa jumlah penghafal Al-Qur’an yang tewas pada peperangan tersebut mecapai 70 orang. Olehnya itu muncul inisiatif dari Umar bin Khattab untuk membukukan Al-Qur’an, lalu disampaikanlah niatnya itu pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan Al-Qur’an hingga rampung.






BAB II
PEMBAHASAN

Proses Pengumpulan dan Pembukuan Al Qur’an

A.   Periode Nabi Muhammad SAW
Ketika wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal, karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan. Pada masa Rasulullah untuk menulis teks Al-qur’an sangat terbatas, sampai-sampai para sahabat menulis Al-qur’an di pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun al-qur’an sudah tertulis pada masa nabi, tapi al-qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf. Karena pada saat itu memang sengaja dibentuk hafalan yang tertanam didada para sahabat. Sedangkan untuk penulisannya tidak dibukukan dalam satu mushaf, dikarenakan Rasulullah masih menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat al-qur’an ada yang di mansukh oleh ayat yang lain, apabila al-qur’an segera dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi.
Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui bahwasannya kebiasaan Nabi Muhammad memanggil juru tulis ayat-ayat yang baru turun, jadi ketika masa Rasulullah seluruh al-qur’an sudah tersedia dalam bentuk tulisan.
Media yang di gunakan pada saat itu adalah:
ü  Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen;
ü  Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas;
ü  ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
ü  Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
ü  Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
ü  Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang

B.   Priode Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah Rasulullah wafat pada tahun ke-11 H, para sahabat secara aklamasi meilih Abu Bakar untuk memegang tampuk pemerintahan sekaligus menjadi khalifah. Pada awal permerintahannya Abu bakar, banyak menghadapi persoalan diantaranya banyaknya orang islam yang murtad, munculnya gerakan anti zakat dan orang-orang yang mengaku sebagai Nabi yang dopelopori oleh Musailamah al-kaddab.
Akhirnya dengan jiwa kepemimpinannya Umar mengirim pasukan untuk memeranginya. Tragedi ini dinamakan perang YAMAMAH (12 H), yang menewaskan sekitar 70 para Qori’ dan Huffadz, dari sekian banyaknya para huffadz yang gugur, Umar khawatir Al-qur’an akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian umar mengusulkan pada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk membukukan al-qur’an yang masih berserakan kedalam satu mushaf.
Pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa Rasulullah, akhirnya dengan dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk melestarikan al-qur’an, Umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi Allah ini adalah baik “, dengan terpaksa dan terbukanya hati Abu Bakar, akhirnya usulan Umar diterima. Dan kemudian Abu bakar membentuk sebuah tim yaitu:
¨      Zaid bin Tsabit
¨      Umar bin Khattab
¨       Ubay bin Al-Ka’ab
¨       Utsman bin Affan
¨       Ali bin Abi Thalib
¨       Salim bin Ma’qi.
Alasan umar agar segera membukukan al-qur’an agar tetap terjaga eksistensinya ditengah-tengah umat.
Ada 2 rambu-rambu yang dipegang oleh Zaid bin Tsabit dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua :
(1) ayat-ayat al-qur’an tersebut ditulis dihadapan Rasulullah
(2) ayat-ayat yang ditulis tersebut harus di hafal harus juga dihafal oleh para sahabat pada masa itu.
Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan al-qur’an yang sangat berat namun mulia ini. Perlu diketahui, bahwa ini bukan pengumpulan Al-Qur’an untuk ditulis dalam satu mushaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis dihadapan Rasulullah SAW kedalam satu tempat.

C.   Priode Khalifah Umar bin al-Khattab
Pada masa Umar tidak terjadi penyusunan dan permasalahan apapun tentang Al-Qur’an karena al-qur’an dianggap sudah menjadi kesepakatan dan tidak ada perselisihan dari kalangan para sahabat dan para tabi’in.

D.   Priode Khalifah Utsman bin Affan
Para penghafal al-qur’an akhirnya tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru, yaitu silang pendapat dikalangan kaum muslim mengenai bacaan (qira’at) al-qur’an.
Akhirnya sahabat Nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca al-qur’an. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca al-qur’an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab, mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca al-qur’an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam.
Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengjkafirkan diantara sesame muslim. Perbedaan tersebut juga terjadi antar penduduk Kufah dan Basrah. Karena penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud sedangkan penduduk Basrah membaca qiraat Abu Musa.
Sekitar tahun 25 H, datanglah Hudzaifah menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin Affan di Madinah. Kemudian Hudzaifah berkata “wahai Amirul Mu’minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang kitab (al-qur’an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani”.
Kemudia Umar berkata “sesungguhnya al-qur’an telah turun dalam dialek Quraisy, maka ajarkanlah menggunakan dialek Quraisy, bukan menggunakan dialek Hudhail”
Selanjutnya Utsman mengutus seseorang datang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran al-qur’an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin kedalam beberapa mushaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi. Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembarn al-qur’an kepada Utsman.
Khalifah Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash dan Abdurahman bin Harits bin Hisyan untuk menyakinnya kedalam beberapa mushaf. Sedangkan untuk penulisannya diserahkan kepada Zaid bin Tsabit karena dia merupakan penulis dizaman Rasulullah SAW, untuk yang mendiktenya dipilih Said bin al-‘Ash, karena dia paling pintar bahasa arabnya.
Hasil kerja tersebut berjudul empat mushaf al-qur’an standar. Tiga diantaranya dikirim ke Syam, Kufah dan Basrah sedangkan satu mushaf ditinggal di Madinah untuk Utsman sendiri.

Penyempurnaan Tulisan dan Bacaan Al Qur’an
Sepeningalan Utsman, mushaf al Qur’an belum diberi tanda baca seperti baris (harakat) dan tanda pemisah ayat. karena daerah kekuasaan Islam semakin meluas ke berbagai penjuru yang berlainan dialek bahasanya, dirasa perlu adanya tindakan preventif dalam memelihara Umat dari kekeliruan membaca dan memahami al Qur’an.
Upaya tersebut baru terealisir pada masa Khalifah Muawwiyah Ibn Abu Sufyan (40-60 H) oleh Imam Abu Al Aswad al Dauli, yang memberi harakat atau baris yang berupa titik merah pada mushaf al Qur’an. Untuk “a” (fathah) disebelah atas huruf, “u” (dhammah) didepan huruf dan “i” (kasrah) dibawah huruf.
Usaha selanjutnya dilakukan pada masa Khalifah Abdul Malik  Ibn Marwan (65-68 H). Dua orang murid Abu Al Aswad al Duali, yaitu Nasar Ibn Ashim dan Yahya Ibn Ya’mar memberi tanda untuk beberapa huruf yang sama seperti “ ba, ta, Tsa” . Dalam berbagai sumber diriwayatkan    bahwa ‘Ubaidillah din Ziyad (w.67 H) memerintahkan kepada seseorang yagn berasal dari Persia untuk menambahkan huruf alif  (mad) pada dua ribu kata yang semestinya dibaca dengan suara panjang. Misalnya,  كنث (kanat­) menjadi   كانث(kaanat). Adapun penyempurnaan tanda-tanda baca lain dilakukan oleh Imam Khalid bin Ahmad pada tahun 162 H.



BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian singkat di atas, dapat diketahui bahwa Otentisitas dan Orisinalitas al Qur’an sepanjang sejarahnya tetaplah terjaga dari campur tangan manusia yang jahil. Maka, tidak perlu lagi diragukan lagi keaslian al Qur’an sebagai firman Allah Swt yang diturunkan melalui perantara Malaikat Jibril kepada Penutup para Nabi dan Utusan yaitu Nabi Muhammad Saw., sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia, baik bangsa Arab maupun non Arab.
.Bahasa Arab sebagai bahasa al Qur’an telah memainkan peran dan fungsi sebagai media untuk mempertahankan lafadh dan makna al Qur’an tetap lestari, bahwa al Qur’an lafdzan wa ma’nan min Allah Swt ‘al Qur’an lafadz dan maknanya sekaligus dari Allah Swt’. Ini disebabkan karena Bahasa Arab memiliki sifat keilmiahan yang khas yang tidak dimiliki oleh bahasa yang lain. Di antaranya adalah setiap kata memiliki akar kata (asal kata). Maka, maknanya tidak jauh dari akar kata tersebut, sebagaimana dapat dilihat dari definisi al Qur’an itu sendiri yang tidak jauh dari makna asal katanya yaitu membaca. Sehingga, al Qur’an berarti bacaan.