PROSES
PENGUMPULAN DAN PEMBUKUAN AL QUR’AN
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen
Pengampu : Dr. Adri Efferi M.Ag.
Disusun
oleh:
1.
Faizatun Ni’mah (1410110058)
2.
Wahyu Utomo (1410110060)
3.
Mujuati (1410110067)
4.
Ristiana Nisa’ (1410110074)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH/ PAI
TAHUN 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Pada Zaman
Rasulullah, Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukunan seperti sekarang.
Namun disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an dimulai dikumpulkan atau
dibukukan, yaitu dikumpulkan didalam satu Mushaf. Pengumpulan Al-Qur’an pada
masa Nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan melalui benda-benda
seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah
kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut
dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat
yang pandai baca tulis. Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut
memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang
sekarang ini.
Peninggalan
Nabi pun hanya mewariskan dokument tulisan dari benda-benda sebagaimana
tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada Khalifah Abu Bakar As-Siddiq
yang tidak lengkap. Berangkat dari bayaknya sahabat nabi yang tewas dalam
peperangan (dikenal dengan perang yamamah)
sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa jumlah penghafal Al-Qur’an yang tewas
pada peperangan tersebut mecapai 70 orang. Olehnya itu muncul inisiatif dari
Umar bin Khattab untuk membukukan Al-Qur’an, lalu disampaikanlah niatnya itu
pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu
Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan
Al-Qur’an hingga rampung.
BAB II
PEMBAHASAN
Proses
Pengumpulan dan Pembukuan Al Qur’an
A. Periode
Nabi Muhammad SAW
Ketika wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya
agar mudah dihafal, karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan
penulisan. Pada masa Rasulullah untuk menulis teks Al-qur’an sangat terbatas,
sampai-sampai para sahabat menulis Al-qur’an di pelepah-pelepah kurma,
lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun al-qur’an sudah tertulis
pada masa nabi, tapi al-qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu
mushaf. Karena pada saat itu memang sengaja dibentuk hafalan yang tertanam
didada para sahabat. Sedangkan untuk
penulisannya tidak dibukukan dalam satu mushaf, dikarenakan Rasulullah masih
menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat al-qur’an
ada yang di mansukh oleh ayat yang lain, apabila al-qur’an segera dibukukan
pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi.
Berdasarkan
keterangan diatas dapat diketahui bahwasannya kebiasaan Nabi Muhammad memanggil
juru tulis ayat-ayat yang baru turun, jadi ketika masa Rasulullah seluruh
al-qur’an sudah tersedia dalam bentuk tulisan.
Media yang
di gunakan pada saat itu adalah:
ü Riqa, atau
lembaran lontar atau perkamen;
ü Likhaf, atau batu
tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara
horizontal lantaran panas;
ü ‘Asib, atau
pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
ü Aktaf, atau tulang
belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
ü Adlla’ atau
tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
ü Adim, atau
lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang
B. Priode
Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah Rasulullah wafat pada tahun
ke-11 H, para sahabat secara aklamasi meilih Abu Bakar untuk memegang tampuk
pemerintahan sekaligus menjadi khalifah. Pada awal permerintahannya Abu bakar,
banyak menghadapi persoalan diantaranya banyaknya orang islam yang murtad,
munculnya gerakan anti zakat dan orang-orang yang mengaku sebagai Nabi yang
dopelopori oleh Musailamah al-kaddab.
Akhirnya dengan jiwa kepemimpinannya
Umar mengirim pasukan untuk memeranginya. Tragedi ini dinamakan perang YAMAMAH (12 H), yang menewaskan sekitar 70
para Qori’ dan Huffadz, dari sekian banyaknya para huffadz yang gugur, Umar
khawatir Al-qur’an akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian umar mengusulkan pada Abu Bakar yang saat itu
menjadi khalifah untuk membukukan al-qur’an yang masih berserakan kedalam satu
mushaf.
Pada
awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa
Rasulullah, akhirnya dengan dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk
melestarikan al-qur’an, Umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi Allah ini adalah
baik “, dengan terpaksa dan terbukanya hati Abu Bakar, akhirnya usulan Umar
diterima. Dan kemudian Abu bakar membentuk sebuah tim yaitu:
¨
Zaid bin Tsabit
¨
Umar bin Khattab
¨
Ubay bin Al-Ka’ab
¨
Utsman bin Affan
¨
Ali bin Abi Thalib
¨ Salim bin Ma’qi.
Alasan
umar agar segera membukukan al-qur’an agar tetap terjaga eksistensinya
ditengah-tengah umat.
Ada 2
rambu-rambu yang dipegang oleh Zaid bin Tsabit dalam menjalankan tugasnya
sebagai ketua :
(1) ayat-ayat al-qur’an tersebut ditulis dihadapan
Rasulullah
(2)
ayat-ayat yang ditulis tersebut harus di hafal harus juga dihafal oleh para
sahabat pada masa itu.
Akhirnya,
rampung sudah tugas pengumpulan al-qur’an yang sangat berat namun mulia ini.
Perlu diketahui, bahwa ini bukan pengumpulan Al-Qur’an untuk ditulis dalam satu
mushaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis
dihadapan Rasulullah SAW kedalam satu tempat.
C. Priode
Khalifah Umar bin al-Khattab
Pada masa
Umar tidak terjadi penyusunan dan permasalahan apapun tentang Al-Qur’an karena
al-qur’an dianggap sudah menjadi kesepakatan dan tidak ada perselisihan dari
kalangan para sahabat dan para tabi’in.
D. Priode
Khalifah Utsman bin Affan
Para
penghafal al-qur’an akhirnya tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru,
yaitu silang pendapat dikalangan kaum muslim mengenai bacaan (qira’at)
al-qur’an.
Akhirnya
sahabat Nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman terkejut melihat
terjadi perbedaan dalam membaca al-qur’an. Hudzaifah melihat penduduk Syam
membaca al-qur’an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab, mereka membacanya dengan sesuatu
yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk
Irak membaca al-qur’an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan
yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam.
Implikasi
dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengjkafirkan diantara sesame
muslim. Perbedaan tersebut juga terjadi antar penduduk Kufah dan Basrah. Karena
penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud sedangkan penduduk Basrah
membaca qiraat Abu Musa.
Sekitar
tahun 25 H, datanglah Hudzaifah menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin Affan di
Madinah. Kemudian Hudzaifah berkata “wahai Amirul Mu’minin, sadarkanlah umat
ini sebelum mereka berselisih tentang kitab (al-qur’an) sebagaimana
perselisihan Yahudi dan Nasrani”.
Kemudia Umar berkata “sesungguhnya al-qur’an telah turun dalam dialek
Quraisy, maka ajarkanlah menggunakan dialek Quraisy, bukan menggunakan dialek
Hudhail”
Selanjutnya Utsman mengutus seseorang datang kepada Hafshah agar Hafshah
mengirimkan lembaran-lembaran al-qur’an yang ada padanya kepada Utsman untuk
disalin kedalam beberapa mushaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.
Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembarn al-qur’an kepada Utsman.
Khalifah Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Said bin al-‘Ash dan Abdurahman bin Harits bin Hisyan untuk menyakinnya kedalam
beberapa mushaf.
Sedangkan untuk penulisannya diserahkan
kepada Zaid bin Tsabit karena dia merupakan penulis dizaman Rasulullah SAW,
untuk yang mendiktenya dipilih Said bin al-‘Ash, karena dia paling pintar
bahasa arabnya.
Hasil kerja tersebut berjudul empat mushaf al-qur’an standar. Tiga
diantaranya dikirim ke Syam, Kufah dan Basrah sedangkan satu mushaf ditinggal
di Madinah untuk Utsman sendiri.
Penyempurnaan Tulisan dan Bacaan Al Qur’an
Sepeningalan Utsman, mushaf al
Qur’an belum diberi tanda baca seperti baris (harakat) dan tanda pemisah
ayat. karena daerah kekuasaan Islam semakin meluas ke berbagai penjuru yang
berlainan dialek bahasanya, dirasa perlu adanya tindakan preventif dalam
memelihara Umat dari kekeliruan membaca dan memahami al Qur’an.
Upaya tersebut baru terealisir pada masa Khalifah Muawwiyah Ibn Abu
Sufyan (40-60 H) oleh Imam Abu Al Aswad al Dauli, yang memberi harakat atau
baris yang berupa titik merah pada mushaf al Qur’an. Untuk “a” (fathah)
disebelah atas huruf, “u” (dhammah) didepan huruf dan “i” (kasrah)
dibawah huruf.
Usaha selanjutnya dilakukan
pada masa Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan (65-68 H). Dua orang murid Abu
Al Aswad al Duali, yaitu Nasar Ibn Ashim dan Yahya Ibn Ya’mar memberi tanda
untuk beberapa huruf yang sama seperti “ ba, ta, Tsa” . Dalam berbagai sumber diriwayatkan
bahwa ‘Ubaidillah din Ziyad (w.67 H) memerintahkan kepada
seseorang yagn berasal dari Persia untuk menambahkan huruf alif
(mad) pada dua ribu kata yang semestinya dibaca dengan suara panjang. Misalnya,
كنث (kanat) menjadi كانث(kaanat). Adapun penyempurnaan tanda-tanda
baca lain dilakukan oleh Imam Khalid bin Ahmad pada tahun 162 H.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas, dapat
diketahui bahwa Otentisitas dan Orisinalitas al Qur’an sepanjang sejarahnya
tetaplah terjaga dari campur tangan manusia yang jahil. Maka, tidak perlu lagi
diragukan lagi keaslian al Qur’an sebagai firman Allah Swt yang diturunkan
melalui perantara Malaikat Jibril kepada Penutup para Nabi dan Utusan yaitu
Nabi Muhammad Saw., sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia, baik bangsa
Arab maupun non Arab.
.Bahasa Arab sebagai bahasa al Qur’an
telah memainkan peran dan fungsi sebagai media untuk mempertahankan lafadh dan
makna al Qur’an tetap lestari, bahwa al Qur’an lafdzan wa ma’nan min Allah
Swt ‘al Qur’an lafadz dan maknanya sekaligus dari Allah Swt’. Ini
disebabkan karena Bahasa Arab memiliki sifat keilmiahan yang khas yang tidak
dimiliki oleh bahasa yang lain. Di antaranya adalah setiap kata memiliki akar
kata (asal kata). Maka, maknanya tidak jauh dari akar kata tersebut,
sebagaimana dapat dilihat dari definisi al Qur’an itu sendiri yang tidak jauh
dari makna asal katanya yaitu membaca. Sehingga, al Qur’an berarti bacaan.