MAQAMAT DALAM AD-DZAUQ
KESUFIAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Perkuliahan
Mata kuliah : Tasawuf
Kelas : B
Dosen Pengampu : Atika Ulfia Adlina M.S.I
Disusun oleh :
Sigit Haryanto (1410110041)
Irfania Nur Dianti (1410110043)
Laili Fitriyatul Ula
(1410110063)
Ristiana Nisa’ (1410110074)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam
Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang
selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat
mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan
secara benar
Pada
dasarnya dalam konsep-konsep maqamat dan ahwal memperkenalkan bagian dari
pemahaman tasawuf itu sendiri sebagai dimana dimaknakan suatu perjalanan
spiritual suluk. Dalam
hal ini, MAQAMAT adalah tempat-tempat sebagai perhentian yang harus dilewati oleh para sufi atau
pejalan spiritual sebelum bisa mencapai akhir perjalanan tersebut, baik itu
yang disebut ma’rifah, ridha,maupun mahabbah (kecintaan) kepada Allah SWT. Sedangkan yang disebut
dengan HAL adalah keadaan-keadaan spiritual sesaat yang dialami oleh para
pejalan atau sufi ini ditengah-tengah perjalanan tersebut.
Tujuan
yang mendasar dari perkuliahan mata kuliah Tasawuf ini adalah diharapkan agar
peserta didik (mahasiswa) dapat memahami apakah pengertian dari Tasawuf
tersebut, dan dapat mengetahui pula bagaimana perkembangannya dari dahulu
hingga sekarang, serta mampu merasakan manfaat sebenarnya dan tujuan dari
mempelajari Tasawuf itu sendiri.
Dan
tujuan khusus dalam pembuatan makalah ini diharapkan agar peserta didik
(mahasiswa ) tersebut mampu dan mengerti dalam menyebutkan definisi Maqamat dan
Ahwal , Maqamat dan Ahwal dimata para tokoh Tasawuf serta sejarah perkembangan
Tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Maqamat dalam Al- Dzauq
kesufian?
2. Apa saja tahapan-tahapan Maqamat?
C.
Tujuan
1.
Dapat memahami pengertian maqamat Al- Dzauq
kesufian.
2.
Dapat memahami tahapan- tahapan Maqamat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Maqamat
Maqamat
adalah jama’ dari maqam, yang berarti tempat atau kedudukan (station). Dalam
bahasa inggris Maqamat dikenal dengan istilah stages yang artinya
tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat berarti kedudukan hamba dalam
pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan.
Dalam sufi terminologi The Mistical Language
of Islam, (Hasyim
Muhammad, 2002:25) Maqam diterjemahkan sebagai kedudukan
spiritual. Karena sebuah maqam diperoleh melalui daya upaya ( Mujahadah ) dan
ketulusan dalam menempuh jalan spiritual. Seseorang tidak dapat beranjak dari
satu maqam ke maqam lain sebelum ia memenuhi persyaratan yang ada dalam maqam
tersebut. Dengan demikian, kualitas- kualitas tersebut akan senantiasa melekat
semakin tinggi kedudukan yang dicapainya akan semakin sempuna dan utuh kualitas
diri seseorang.
B. Tahapan Maqamat
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat
yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan
para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf
li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya
mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla,
al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu
Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi[[1]]
dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah,
al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu
Imam al-Ghazali[[2]]
dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada
delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah,
al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan
variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh
mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr,
al-tawakkal dan al-ridla.
Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan
al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga
istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah)
terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang
menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan
Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut
adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan
al-ridl.
1.
At-Taubah (Tobat)
Makna tobat dalam bahasa arab adalah “kembali”. “Ia bertobat”
berarti “ia kembali”. Jadi, tobat adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh
syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya. Rasulullah SAW. bersabda, “Menyesali
kesalahan merupakan suatu tobat.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Tobat hukumnya adalah wajib, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Abi
Zakariyah Yahya bin Syarif An Nawawy dalam kitabnya “ Riyadlus Sholihin” bahwa
tobat itu wajib dari tiap dosa. Maka, jika maksiat ( dosa) itu hanya antara ia
dan Allah, tiada sangkut pautnya dengan manusia, syaratnya ada 4 yang harus
dilakukan, yaitu:
1.
Harus
menghentikan maksiatnya
2.
Harus
menyesali perbuatan yang telah terlanju dilakukannya
3.
Niat
bersungguh-sungguh tidak mengulangi perbuatan itu kembali
Dan apabila dosa itu ada
hubungannya dengan hak manusia, maka taubatnya ditambah syarat keempat, yaitu:
4. Menyelesaikan urusannya dengan orang yang
berhak, dengan minya maaf halalnya, atau mengembalikan apa yang harus
dikembalikan.
Berkaitan
dengan maqam tobat, dalam al qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah
ini. Yaitu firman Allah (Q.S An-Nuur: 31)
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا
الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
...” Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S
An-Nuur: 31).
Dan terdapat pula
hadits yang menerangkan tentang tobat yang diriwayatkan dari Anas bin Malik[[3]],
bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang
tidak berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak
melekat pada dirinya.” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Hakim). Selanjutnya,
beliau membaca ayat, “ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat
dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Q.S Al-Baqarah: 222).
2. Al- Zuhud ( Zuhud)
Secara
etimologis, zuhud (Amin Syukur, 2004: 1) berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Secara
harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka
mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Zuhud pada hakikatnya adalah membelakangkan
semua mata benda dunia. Dengan kata lain, zuhud tidak terlalu menghiraukan
dunia. Dalam hal ini, khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a. pernah ditanya tentang
zuhud, beliau menjawab: “Zuhud ialah hendaklah kamu tidak terpengaruh dan iri
hati terhadap orang-orang yang serakah terhadap keduniaan, baik itu orang
mukmin atau dari orang-orang kafir.
Allah SWT. telah
menghimbau ummat manusia untuk bersikap zuhud berkenaan dengan pemerolehan
kekayaan, melalui firmannya Surat An-Nisa ayat 77:
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ
يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا
لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا
تُظْلَمُونَ فَتِيلا
Artinya : “ Katakanlah
di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang
bertaqwa.” (Q.S An-Nisa’: 77).
3.
al-wara’ ( Wara’)
Wara’, secara
harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat.
Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan
segala sesuatu yang tidak jelas (keragu-raguan) hukumnya (syubhat). Ini
sejalan dengan (H.R. Bukhori), “barang siapa yang dirinya terbebas dari
syubhat, maka sesungguhnya ia telah bebas dari yang haram”.
Diriwayatkan oleh
Abu Hurairah[[4]]
r.a, bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Bersikaplah wara’, dan kamu akan
menjadi orang yang paling taat beribadat diantara ummat manusia.”(HR. Ibnu
Majah, Thabrani dan Baihaqi).
Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa
orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang
yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan
diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’
orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.
4.
al-faqr (Kefakiran)
Faqr (Rosihun Dkk, 2000:71) dapat diartikan kekurangan sebagian harta dalam
menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr penting dimiliki oleh orang yang
berjalan di jalan Allah,karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan
manusia lebih dekat pada kejahatan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa
tertambat pada selain Allah. Faqr adalah orang yang tidak butuh dunia dan hanya
mementingkan akhirat. Secara harfiah (Amin Syukur, 2003: 30) Faqr biasa diartikan sebagai orang
yang tidak butuh dunia. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah
tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.
Allah SWT juga
berfirman didalam Surat Al-Baqarah ayat 273 :
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ
أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ
يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ
لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ
بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: “(Infaq itu) untuk orang-orang fakir yang
terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi;
orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena (mereka) memelihara
diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya,
mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
(Q.S. Al-Baqarah: 273).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa
Nabi Muhammad SAW. telah bersabda:
“Orang-orang miskin akan memasuki surga
limaratus tahun sebelum orang-orang kaya. ( Limaratus tahun itu) sama dengan
setengah hari (surga).”
(HR.Tirmidzi).
Kefakiran
adalah simbol para wali dan hiasan para sufi, pilihan Allah SWT. pada orang
takwa pilihan dan para Nabi. Sedangkan para Sufi fakir merupakan pilihan Allah
SWT. bagi hamba-hamba-Nya. Mereka adalah pengemban rahasia-rahasia-Nya diantara
para hamba-Nya, yang dengan meraka Dia menjaga para makhluk dan yang
dengan keberkatan mereka rezeki disebarkan di kalangan manusia.
Orang-orang fakir
yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah SWT. Pada hari kebangkitan,
seperti dikatakan dalam hadits riwayat Umar bin Khattab r.a, yang mengatakan
bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda. “Segala sesuatu ada kuncinya, dan
kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin. Kaum fakir yang sabar akan
menjadi sahabat-sahabat Allah SWT. pada Hari Kebangkitan.” (HR.Ibnu Laal,
dari Ibnu Umar).
5. al-shabr (Sabar)
Sabar secara
harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan
jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian.
Sabar
yang dimaksudkan dalam ajaran sufi adalah sifat yang dikehendaki oleh Allah SWT
dengan jalan meninggalkan ucapan yang bisa membawa adanya keluh kesah. Dan
orang yang sabar yaitu orang yang bisa menahan diri dari orang yang dibencinya,
lalu diarahkannya unuk bertaubat kepada Allah SWT. Dia melakukan kesabaran
dengan tujuan untuk mengharapkan pahala dari Allah dan sanggup menanggung
dirinya kesusahan atau pun derita. Dengan kesabarannya itu lalu berusaha untuk
banya berbuat kebaikan dan bersikap lapang dada (toleransi) denagn meyakini
bahwa Allah Maha Melihat kepada orang yang bersifat sabar.
Sabar, menurut
Al-Ghazali, (Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin, 2004:72) jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan
amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan
menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr
al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek.
Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.
Sedangkan menurut pandangan Dzun nuun, “sabar
adalah menjauhi pelanggaran dan tetap bersikap rela sementara merasakan
sakitnya penderitaan, dan sabar juga menampakkan kekayaannya ketika ditimpa
kemiskinan di lapangan kehidupan.”
Allah
berfirman didalam surat An-Nahl ayat 127 :
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ
إِلا بِاللَّهِ وَلا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
Artinya: “Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu
melainkan dengan pertolongan Allah.” (Q.s. An-Nahl: 127).
Kemudian sabar
dibagi dalam beberapa macam: Sabar terhadap apa yang diupayakan, dan sabar
terhadap apa yang tanpa diupayakan. Mengenai sabar dengan upaya, terbagi
menjadi dua: Sabar dalam menjalankan perintah Allah dan sabar dalam menjauhi
larangan-Nya. Mengenai sabar terhadap hal-hal yang tidak melalui upaya dari si
hamba, maka kesabarannya adalah dalam menjalankan ketentuan Allah yang
menimbulkan kesukaran baginya.
6. al-tawakkal (Tawakal)
Tawakkal artinya ialah
berserah diri kepada Allah setelah berusaha sekuat tenaga dan fikiran dalam
mencapai suatu ujuan. Jadi apabila kita mempunyai tujuan, lalu berusa dengan
sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan menurut aturan dan syara-syarat yang
diperlukan, maka hasilnya tinggal menunggu keputusan dari Allah.
Secara harfiah
tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Al-Qusyairi mengatakan bahwa
tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak
mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba
meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka
menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir
Allah.
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan
pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution (Abuddin
Nata, 2011:202). Ia mengatakan
tawakkal adalah
menyerahkan kepada ketetapan tuhan, selamanya dalam keadaan tentram. Jika dapat
pemberian berterima kasih, bila mendapat apa-apa bersikap bersabar dan
menyerahkan kepada qodho dan qhodar-Nya Allah.
Allah berfirman dalam Surat Ath- Thalaq ayat
3 :
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا
يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ
بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Artinya: “Dan
barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)Nya.” (Q.s. Ath-Thalaq:3).
Selanjutnya, tawakkal itu terbagi menjadi dua,
yaitu:
1.
Tawakkal
tentang rizki, maka tidak boleh gelisah, prihatin di dalamnya.
2.
Tawakkal
tentang pahala amal, harus percaya dan tenang pada janji Allah dan tidak
khawatir terhadap amalnya. Apakah diterima atau ditolak.
Ketauhilah bahwa tempat tawakkal adalah hati.
Sedangkan gerakan lahiriah tidak meninggalkan tawakkal dalam hati manakala si
hamba telah yakin bahwa takdir datang dari Allah, sehingga jika sesuatu
didapati kesulitan, maka ia akan melihat takdir Allah SWT di dalamnya, dan jika
sesuatu dimudahkan kepadanya, ia melihat kemudahan dari Allah SWT di dalamnaya.
7. al-ridl (Ridho)
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang
dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan
qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang.
Mengeluarkan perasaan benci dari hati
sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira.
Ridha merupakan prestasi tertinggi yang telah
dilalui dalam perjalanan sufi. Ridha ini menurut beberapa tokoh sufi mempunyai
banyak pengertian. Diantaranya adalah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
Ruwayn, ridha adalah menerima ketetapan-ketetapan dari Allah untuk dirinya
dengan senang hati.
Allah SWT berfirman di dalam surat Al-Maidah ayat
119 :
قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ
يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Allah ridha terhadap mereka dan mereka
pun ridha kepadaNya” (Q.S Al-Maidah: 119).
Kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap ketentuan
Allah yang telah diperintahkan agar ia ridha dengannya. Ketahuilah bahwa si
hamba tidak akan mendekati derajat ridha kecuali Allah SWT ridha terhadapnya, sesuai dengan firman Allah
tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Maqamat
merupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak
dua telapak kaki. Dalam ilmu tasawuf maqam berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah
menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, perjuangan, dan latihan. Sedangkan
secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang
berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti
sebagai jalan panjang yang selalu ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat
kepada Allah.
Macam-macam maqamat
diantaranya:
a. Tobat
b. Zuhud
c. Wara’
d. Kefakiran
e. Sabar
f.
Tawakkal
g. Ridha
B. SARAN
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyususnan makalah ini. Penulis menyadari
bahwa makalah ini kurang sempurna, maka dari itu kritik dan sarang bagi pembaca
sangat dibutuhkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.
DAFTAR PUSTAKA
Imam Al-Qusyairy an-Naisabury. Risalatul Qusyairiyah. Surabaya:Risalah
Gusti. 1996.
Ahmad Faried. Menyucikan Jiwa. Surabaya:Risalah Gusti. 1999.
Hasyim Muhammad. Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Offset. 2002.
Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya. Akhlak
Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres. 2011.
Amin Syukur. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2004.
Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin. Ilmu
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2004.
Amin
Syukur. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2003.
Abuddin Nata. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Rosihun Dkk.
Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2000.
[1]
Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi lahir 17 Februari 1201 di Tus, Khurasan
- meninggal pada 25
Juni 1274
di Bagdad
[3]
Anas bin Malik meninggal
709 adalah seorang
sahabat terkenal (pendamping)
dari Islam nabi
Muhammad.
[4]
Abu Hurairah seorang sahabat nabi Muhammad SAW dan narator paling
produktif hadis dalam kompilasi
hadis Sunni.