Rabu, 06 Januari 2016

MAQAMAT DALAM AD-DZAUQ KESUFIAN



MAQAMAT DALAM AD-DZAUQ KESUFIAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Perkuliahan
Mata kuliah : Tasawuf
Kelas : B
Dosen Pengampu : Atika Ulfia Adlina M.S.I

 








Disusun oleh :
Sigit Haryanto            (1410110041)
Irfania Nur Dianti      (1410110043)
Laili Fitriyatul Ula      (1410110063)
Ristiana Nisa’             (1410110074)


 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2014/2015


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar
Pada dasarnya dalam konsep-konsep maqamat dan ahwal memperkenalkan bagian dari pemahaman tasawuf itu sendiri sebagai dimana dimaknakan suatu perjalanan spiritual suluk. Dalam hal ini, MAQAMAT adalah tempat-tempat sebagai perhentian yang harus dilewati oleh para sufi atau pejalan spiritual sebelum bisa mencapai akhir perjalanan tersebut, baik itu yang disebut ma’rifah, ridha,maupun mahabbah (kecintaan) kepada Allah SWT. Sedangkan yang disebut dengan HAL adalah keadaan-keadaan spiritual sesaat yang dialami oleh para pejalan atau sufi ini ditengah-tengah perjalanan tersebut.
Tujuan yang mendasar dari perkuliahan mata kuliah Tasawuf ini adalah diharapkan agar peserta didik (mahasiswa) dapat memahami apakah pengertian dari Tasawuf tersebut, dan dapat mengetahui pula bagaimana perkembangannya dari dahulu hingga sekarang, serta mampu merasakan manfaat sebenarnya dan tujuan dari mempelajari Tasawuf itu sendiri.
Dan tujuan khusus dalam pembuatan makalah ini diharapkan agar peserta didik (mahasiswa ) tersebut mampu dan mengerti dalam menyebutkan definisi Maqamat dan Ahwal , Maqamat dan Ahwal dimata para tokoh Tasawuf serta sejarah perkembangan Tasawuf.






B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Maqamat dalam Al- Dzauq kesufian?
2. Apa saja tahapan-tahapan Maqamat?

C.   Tujuan
1.      Dapat memahami pengertian maqamat Al- Dzauq kesufian.
2.      Dapat memahami tahapan- tahapan Maqamat.


























BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian Maqamat
Maqamat adalah jama’ dari maqam, yang berarti tempat atau kedudukan (station). Dalam bahasa inggris Maqamat dikenal dengan istilah stages yang artinya tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan.
 Dalam sufi terminologi The Mistical Language of Islam, (Hasyim  Muhammad, 2002:25) Maqam diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual. Karena sebuah maqam diperoleh melalui daya upaya ( Mujahadah ) dan ketulusan dalam menempuh jalan spiritual. Seseorang tidak dapat beranjak dari satu maqam ke maqam lain sebelum ia memenuhi persyaratan yang ada dalam maqam tersebut. Dengan demikian, kualitas- kualitas tersebut akan senantiasa melekat semakin tinggi kedudukan yang dicapainya akan semakin sempuna dan utuh kualitas diri seseorang.

B.      Tahapan Maqamat
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi[[1]] dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam al-Ghazali[[2]] dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla.
Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan  al-ridl.
1.       At-Taubah (Tobat)
        Makna tobat dalam bahasa arab adalah “kembali”. “Ia bertobat” berarti “ia kembali”. Jadi, tobat adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya. Rasulullah SAW. bersabda, “Menyesali kesalahan merupakan suatu tobat.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Tobat hukumnya adalah wajib, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Abi Zakariyah Yahya bin Syarif An Nawawy dalam kitabnya “ Riyadlus Sholihin” bahwa tobat itu wajib dari tiap dosa. Maka, jika maksiat ( dosa) itu hanya antara ia dan Allah, tiada sangkut pautnya dengan manusia, syaratnya ada 4 yang harus dilakukan, yaitu:
1.     Harus menghentikan maksiatnya
2.    Harus menyesali perbuatan yang telah terlanju dilakukannya
3.    Niat bersungguh-sungguh tidak mengulangi perbuatan itu kembali
Dan apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia, maka taubatnya ditambah syarat keempat, yaitu:
4.    Menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak, dengan minya maaf halalnya, atau mengembalikan apa yang harus dikembalikan.
Berkaitan dengan maqam tobat, dalam al qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini. Yaitu firman Allah  (Q.S An-Nuur: 31)
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
...” Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S An-Nuur: 31).
Dan terdapat pula hadits yang menerangkan tentang tobat yang diriwayatkan dari Anas bin Malik[[3]], bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang tidak berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya.” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Hakim). Selanjutnya, beliau membaca ayat, “ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Q.S Al-Baqarah: 222).

2.       Al- Zuhud ( Zuhud)
Secara etimologis, zuhud (Amin Syukur, 2004: 1) berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Zuhud pada hakikatnya adalah membelakangkan semua mata benda dunia. Dengan kata lain, zuhud tidak terlalu menghiraukan dunia. Dalam hal ini, khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a. pernah ditanya tentang zuhud, beliau menjawab: “Zuhud ialah hendaklah kamu tidak terpengaruh dan iri hati terhadap orang-orang yang serakah terhadap keduniaan, baik itu orang mukmin atau dari orang-orang kafir.
Allah SWT. telah menghimbau ummat manusia untuk bersikap zuhud berkenaan dengan pemerolehan kekayaan, melalui firmannya Surat An-Nisa ayat 77:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا

Artinya : “ Katakanlah di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S An-Nisa’: 77).

3.       al-wara’ ( Wara’)
Wara’, secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas (keragu-raguan) hukumnya (syubhat). Ini sejalan dengan (H.R. Bukhori), “barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah bebas dari yang haram”.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah[[4]] r.a, bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Bersikaplah wara’, dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadat diantara ummat manusia.”(HR. Ibnu Majah, Thabrani dan Baihaqi).
Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.

4.       al-faqr (Kefakiran)
Faqr (Rosihun Dkk, 2000:71) dapat diartikan kekurangan sebagian harta dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr penting dimiliki oleh orang yang berjalan di jalan Allah,karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada kejahatan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Allah. Faqr adalah orang yang tidak butuh dunia dan hanya mementingkan akhirat. Secara harfiah (Amin Syukur, 2003: 30) Faqr biasa diartikan sebagai orang yang tidak butuh dunia. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.
Allah SWT juga berfirman didalam Surat Al-Baqarah ayat 273 :
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Artinya: “(Infaq itu) untuk orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena (mereka) memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 273).
        Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW. telah bersabda:
“Orang-orang miskin akan memasuki surga limaratus tahun sebelum orang-orang kaya. ( Limaratus tahun itu) sama dengan setengah hari (surga).” (HR.Tirmidzi).
Kefakiran adalah simbol para wali dan hiasan para sufi, pilihan Allah SWT. pada orang takwa pilihan dan para Nabi. Sedangkan para Sufi fakir merupakan pilihan Allah SWT. bagi hamba-hamba-Nya. Mereka adalah pengemban rahasia-rahasia-Nya diantara para hamba-Nya, yang dengan meraka Dia menjaga para makhluk dan yang dengan keberkatan mereka rezeki disebarkan di kalangan manusia.
Orang-orang fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah SWT. Pada hari kebangkitan, seperti dikatakan dalam hadits riwayat Umar bin Khattab r.a, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda. “Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin. Kaum fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah SWT. pada Hari Kebangkitan.” (HR.Ibnu Laal, dari Ibnu Umar).

5.       al-shabr (Sabar)
Sabar secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian.
Sabar yang dimaksudkan dalam ajaran sufi adalah sifat yang dikehendaki oleh Allah SWT dengan jalan meninggalkan ucapan yang bisa membawa adanya keluh kesah. Dan orang yang sabar yaitu orang yang bisa menahan diri dari orang yang dibencinya, lalu diarahkannya unuk bertaubat kepada Allah SWT. Dia melakukan kesabaran dengan tujuan untuk mengharapkan pahala dari Allah dan sanggup menanggung dirinya kesusahan atau pun derita. Dengan kesabarannya itu lalu berusaha untuk banya berbuat kebaikan dan bersikap lapang dada (toleransi) denagn meyakini bahwa Allah Maha Melihat kepada orang yang bersifat sabar.
Sabar, menurut Al-Ghazali, (Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin, 2004:72) jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.
 Sedangkan menurut pandangan Dzun nuun, “sabar adalah menjauhi pelanggaran dan tetap bersikap rela sementara merasakan sakitnya penderitaan, dan sabar juga menampakkan kekayaannya ketika ditimpa kemiskinan di lapangan kehidupan.”

Allah berfirman didalam surat An-Nahl ayat 127 :
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلا بِاللَّهِ وَلا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
Artinya: “Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (Q.s. An-Nahl: 127).

Kemudian sabar dibagi dalam beberapa macam: Sabar terhadap apa yang diupayakan, dan sabar terhadap apa yang tanpa diupayakan. Mengenai sabar dengan upaya, terbagi menjadi dua: Sabar dalam menjalankan perintah Allah dan sabar dalam menjauhi larangan-Nya. Mengenai sabar terhadap hal-hal yang tidak melalui upaya dari si hamba, maka  kesabarannya  adalah dalam menjalankan ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaran baginya.

6.       al-tawakkal (Tawakal)
Tawakkal artinya ialah berserah diri kepada Allah setelah berusaha sekuat tenaga dan fikiran dalam mencapai suatu ujuan. Jadi apabila kita mempunyai tujuan, lalu berusa dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan menurut aturan dan syara-syarat yang diperlukan, maka hasilnya tinggal menunggu keputusan dari Allah.
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Al-Qusyairi mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution (Abuddin Nata, 2011:202). Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan kepada ketetapan tuhan, selamanya dalam keadaan tentram. Jika dapat pemberian berterima kasih, bila mendapat apa-apa bersikap bersabar  dan menyerahkan kepada qodho dan qhodar-Nya Allah.

Allah berfirman dalam Surat Ath- Thalaq ayat 3 :
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Artinya: “Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)Nya.” (Q.s. Ath-Thalaq:3).

Selanjutnya, tawakkal itu terbagi menjadi dua, yaitu:
1.    Tawakkal tentang rizki, maka tidak boleh gelisah, prihatin di dalamnya.
2.    Tawakkal tentang pahala amal, harus percaya dan tenang pada janji Allah dan tidak khawatir terhadap amalnya. Apakah diterima atau ditolak.
Ketauhilah bahwa tempat tawakkal adalah hati. Sedangkan gerakan lahiriah tidak meninggalkan tawakkal dalam hati manakala si hamba telah yakin bahwa takdir datang dari Allah, sehingga jika sesuatu didapati kesulitan, maka ia akan melihat takdir Allah SWT di dalamnya, dan jika sesuatu dimudahkan kepadanya, ia melihat kemudahan dari Allah SWT di dalamnaya.



7.       al-ridl (Ridho)
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang.
Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira.
Ridha merupakan prestasi tertinggi yang telah dilalui dalam perjalanan sufi. Ridha ini menurut beberapa tokoh sufi mempunyai banyak pengertian. Diantaranya adalah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Ruwayn, ridha adalah menerima ketetapan-ketetapan dari Allah untuk dirinya dengan senang hati.
Allah SWT berfirman di dalam surat Al-Maidah ayat 119 :
قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya: “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepadaNya” (Q.S Al-Maidah: 119).

Kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap ketentuan Allah yang telah diperintahkan agar ia ridha dengannya. Ketahuilah bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat ridha kecuali Allah SWT  ridha terhadapnya, sesuai dengan firman Allah tersebut. 











BAB III
PENUTUP


A.      KESIMPULAN
                Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak kaki. Dalam ilmu tasawuf maqam berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, perjuangan, dan latihan. Sedangkan secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang selalu ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.
Macam-macam maqamat diantaranya: 
a.       Tobat 
b.       Zuhud 
c.       Wara’ 
d.       Kefakiran
e.       Sabar 
f.        Tawakkal 
g.       Ridha 

B.      SARAN
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyususnan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna, maka dari itu kritik dan sarang bagi pembaca sangat dibutuhkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.





DAFTAR PUSTAKA


Imam Al-Qusyairy an-Naisabury. Risalatul Qusyairiyah. Surabaya:Risalah Gusti. 1996.
Ahmad Faried. Menyucikan Jiwa. Surabaya:Risalah Gusti. 1999.
Hasyim Muhammad. Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset. 2002.
Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres. 2011.
Amin Syukur. Zuhud  di Abad Modern.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2004.
Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2004.
                Amin Syukur. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Rosihun Dkk. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2000.






[1] Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi lahir 17 Februari 1201 di Tus, Khurasan - meninggal pada 25 Juni 1274 di Bagdad
[2] Imam al-Ghazali seorang teolog muslim, ahli hukum, filsuf, dan sufi keturunan Persia.
[3] Anas bin Malik meninggal 709 adalah seorang sahabat terkenal (pendamping) dari Islam nabi Muhammad.
[4] Abu Hurairah seorang sahabat nabi Muhammad SAW dan narator paling produktif hadis dalam kompilasi hadis Sunni.