Rabu, 06 Mei 2015

Mu'amalah_2




HADITS-HADITS MU’AMALAH 2
Makalah

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Hadits Ahkam
Dosen pengampu: Mufatihatuttaubah, S.Ag, M.Pd.I

Disusun oleh kelompok 9:
1.         Dian Novita N                                           (1410110049)
2.         Faizatun Ni’mah                                       (1410110058)
3.         Ristiana Nisa’                                            (1410110074)
Kelas: B






 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
          JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB 1
PENDAHULUAN


A.    LatarBelakang
         
           Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, banyak sektor-sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada sector pertanian. Masyarakat  pedesaan yang pada umumnya hanya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang memiliki lahan sendiri untuk digarap, yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga yang tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga untuk mencukupi kebutuhannya,  mereka bekerja sama dengan yang memiliki lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan imbalan bagi hasil.
Namun ada juga mereka yang telah memiliki lahan sendiri, dikarenakan lahannya sedikit mahal hasilnya belum mencukupi kebutuhan hidupnya,  untuk menambah penghasilan mereka juga bekerja di lahanmilik orang lain denganimbalanbagihasilpertanian. Terdapatjugapemilik yang mempunyaibeberapabidangtanahtetapitidakdapatmenggarapnyakarenasuatusebabsehinggapenggarapannyadiwakili orang laindenganmendapatsebagianhasilnya.
Kondisisepertiinipadaumumnyaterlihatpadamasyarakatpedesaankitasaatini.Dari beberapapermasalahaniniadabaiknyakitarangkaikanmenjadisuatukesatuan yang salingmemenuhiataumembutuhkanantarapermasalahan yang satudengan yang lainnyayaitudalambentukkerjasamabagihasil.
B.     RumusanMasalah
1.      ApapengertianMusaqah?
2.      ApapengertianMuzara’ahdanMukhabarah?
3.      ApapengertianMudharabahdanMurabahah?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    HaditsdanTerjemah
Hadits yang berkaitandenganMusaqah, Muzara’ah, Mukhabarah, Mudharabah, danMurabahahadalahsebagaiberikut:
ََعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ, أَوْ زَرْعٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا: فَسَأَلُوا أَنْ يُقِرَّهُمْ بِهَا عَلَى أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ اَلثَّمَرِ, فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا, فَقَرُّوا بِهَا, حَتَّى أَجْلَاهُمْ عُمَرُ ). وَلِمُسْلِمٍ: ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ, وَلَهُ شَطْرُ ثَمَرِهَا )
Artinya:
            “Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah-buahan dan tanaman. MuttafaqAlaihi. Dalam suatu riwayat Bukhari-Muslim: Mereka meminta beliau menetapkan mereka mengerjakan tanah (Khaibar) dengan memperoleh setengah dari hasil kurma, maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kami tetapkan kalian dengan ketentuan seperti itu selama kami menghendaki." Lalu mereka mengakui dengan ketetapan itu samapi Umar mengusir mereka. Menurut riwayat Muslim: Bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberikan pohon kurma dan tanah Khaibar kepada kaum Yahudi di Khaibar dengan perjanjian mereka mengerjakan dengan modal mereka dan bagi mereka setengah dari hasil buahnya.[1]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )
Artinya: “Dari Abu Hurairahra.Berkata: BersabdaRasulullah Saw (barangsiapa yang memilikitanahmakahendaklahditanamiataudiberikanfaedahnyakepadasaudaranyajikaiatidakmaumakabolehditahansajatanahitu.” (HaditsRiwayat Muslim
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
Artinya:“Barangsiapa yang mempunyaitanah, hendaklahiamenanaminyaatauhendaklahiamenyuruhsaudaranyauntukmenanaminya.” (HaditsRiwayatBukhari)


B.     AsbabulWurud
Hadits tersebet sebagai dalil sahnya parohan kebun dan sawah sekalipun masanya tidak ditentukan. Dalam kitab Zadul Ma’ad karangan Ibnul Qayim menyebutkan dalam kisah Khaibar itu terkandung dalil boleh parohan kebun dan sawah dengan upah sebagian dari hasil buah atau hasil sawah itu, karena sesungguhnya Rasulullah mempekerjakan orang-orang Khaibar untuk itu dan tetap berlangsung penggarapan sawah dan kebun itu oleh mereka hingga beliau wafat, dan tidak pernah dibatalkan. Pekerjaan itu tetap mereka lakukan hingga masa para Khulafaur Rasyidin. Dan ini bukan sistem upah-mengupah sedikitpun, tetapi dengan sistem kerja sama dan itu haampir sama dengan mudharabah.
Barang siapa yang memperbolehkan mudharaabah dan mengharamkan musaqah, maka dia membedaakan dua sistem yang sama. Sesungguhnya nabi Muhammad menyerahkan tanah itu kepada mereka agar mereka menggarapnya dengan modal mereka sendiri, dam beliau tidaak menyerahkan benih kepada mereka dan beliau tidak pernah membawakan benih sama sekali dari Madinah untuk pengarapan itu. Itu menunjukkan baahwaa pettenjuk beliau  tidak ada persyaaratan benih dari pemilik tanah dan boleh saja benih itu dari pihak penggarap taanah itu, dan ini adalah petunjuk Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.[2]

C.     TakhrijHadits
Hadits pertama diriwayatkan oleh Muttafaqun ‘Alaih (Imam Bukhari dan Muslim), hadits tersebut dikatakan shahih, juga didukug oleh Imam Malik dan Syafi’i Ats-Tsauri.[3] Sedangkan hadits kedua diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dan hadits yang ketiga diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

D.    Analisa Dan Pembahasan
1.      Musaqah (Paroan Kebun)
      Secara etimologi musaqah berarti penyiraman, sedangkan menurut terminology yaitu kerja sama antara pemilik kebun dan penggarap, sehingga kebun itu menghasilkan suatu yang menjadi milik kedua belah pihak menurut perjanjian yang mereka buat.[4]
      Akad ini diharuskan (diperbolehkan) oleh agama karena banyak yang membutuhkannya. Memang banyak orang yang mempunyai kebun, tetapi tidak dapat memeliharanya. Sedangkan yang lain tidak mempunyai kebun, tetapi sanggup bekerja. Maka dengan adanya peraturan ini keduanya dapat hidup dengan baik, hasil Negarapun bertambah banyak, dan masyarakat bertambah makmur.[5]
      Rukun Musaqah:
Rukun musaqah ada lima, yaitu:
a)      Pemilik keebun (musaaqi) dan penggarap (saqiy), keduanya hendaklah orang yang berhak memelanjakan harta.
b)      Pohon yang dipelihara baaik yang buahnya musiman, tahunan, maupun terus menerus.
c)      Pekerjaan yang harus diselesaikan penggarap harus jelas baik waktu, jenis, dan sifatnya.
d)     Hasil yang diperoleh berupa buah, daun, kayu, atau lain-lainya. Pembagian hasil pekerjaan ini harus dijelaskan pada waktu akad.
e)      Akad yaitu wajib qabul berupa tulisan, perkataan, atau isyarat.

      Syarat musaqah
Diisyaratkaan untuk sahnya musaqah hal-hal sebagai berikut:
a)      Pohon atau tanaman yang dipelihara hendaknya jelas dapat diketahui dengan mata atau dengan sifaatnya karena tidak sah musaqah terhadap barang yang tidak jelas.
b)      Waktu pemeliharaan hendaknya jelas, misalnya setahun, dua tahun, satu kali panen dan sebagaiya karena musaqah merupakan akad yang pasti serupa jual beli sehingga terhindar dari kericuhan.
c)      Hendaknya akad dilaksanakan sebelum dibuat perjajjian karena musaqah merupakan akad pekerjaan.
d)     Bagian penggarap hendaknya jelas, apakah separuh sepertiga, dst[6]


2.         Muzara’ah dan Mukhabarah
      Muzara’ah yaitu kerja sama antara pemilik sawah atau ladang dan penggarap dengan bagi hasil menurut perjanjian sedangkan benih di bebankan kepada pemilik tanah. Jika benih di bebankan pada penggarap maka kerja sam ini di namakan mukhabarah.
      Muzara’ah bentuk kerjasama yang rata-rata berlaku pada perkebunan yang benihnya cukup mahal, misalnya cengkeh, pala, jeruk manis, panili, dsb. Petani yang lemah tidak mampu membeli beni tersebut dalam jumlah besar lagi pula tanaman tersebut memerlukan masa yang cukup lama jadi, tanpa modal tidak mungkin hal itu di jangkaunya  
      Sedangkan mukhabarah bentuk kerjasama yang rata-rata berlaku dalam hal tanaman yang harga benihnya relative murah seperti padi, gandum, jagung, kacang tanah, dsb.
      Dalam kaitannya dengan masalah hukum, jumhur ulama’ membolehkan aqad muzara’ah dan mukhabarah. Karena selain berdasaran praktek nabi dan juga praktek sahabat nabi yang biasa mlakukan aqad bagi hasil tanaman, juga karena aqad ini menguntungkan kedua belah pihak. Menguntungkan karena bagi pemilik tanah atau tanaman terkadang tidak mempunyai waktu dalam mengolah tanah sedangkan orang yang mempunyai keahlian dalam mengolah tanah tidak punya modal berupa uang atau tanah. [7]

3.      Mudharabah dan Murobahah
      Mudharabah adalah suatu bentuk kerjasama perniagaan dimana sipemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengelola dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan jika mengalami kerugian akan di tanggung oleh sipemilik modal
      Dasar  hukum mudharabah didasarkan pada hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul mutholib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudhorobah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berahaya, atau membei ternak yang berparu-paru basah. Jika menyalahi aturan tersebut maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR.Thabrani)
      Rukun mudharabah:
1)      Adanya pemilik modal (sahibul maal)
2)      Adanya pelaku usaha (mudharib)
3)      Nisbat pembagiaan keuntungan
4)      Modal (ro’su maal)
5)      Akad kontrak (ijab qobul)
      Murobahah adalah transaksi pejualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang di sepakati oleh penjual  dan pembeli. Pembayaran atas aqad jual beli dapat dilakukan secara tunai ataupun kredit. Hal yang membedakan murobahah dengan jual beli yang lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh. Missal: seseorang yang hendak membeli sepeda motor, karena ia tidak punya uang, maka ia datang ke bank syari’ah dan meminta agar bank syari’ah membelikannya. Kemudian bank membeli motor seharga 10 jt dan menjualnya pada nasabah tersebut dengan harga 11 jt, dan nasabah dapat mencicil harga tersebut kepada bank sesuai dengan kesepakatan.
      Syarat-syarat murobahah:
1)      Pihak penjual harus memberi tahu harga asal kepada nasabah
2)      Kontrak pertama (jual beli dengan pihak ke tiga) harus sah
3)      Kontrak harus bebas dari riba
4)      Pihak penjual harus menjelaskan semua cacat yang terjadi setelah pembelian
5)      Pihak penjual harus menyampaikan semua hal yag terkait dengan pembelian.
     
       










BAB III
PENUTUP

                                    Kesimpulan
            Musaqah, Muzara’ah, Murabahah, Mudharabah, Mubarahah dalam konteks hukum adalah diperbolehkan (mubah), selama kedua belah pihak saling mendapat keuntungan masig-masing seesuai kesepakan yang telah dibuat di awal perjajian pada saat akad. Di samping itu, mempunyai banyak manfaat, banyak orang kaya atau pemilik sawah atau pemilik modal yang tidak bisa mengolahnya, maka ia membutuhkan seorang yang ahli dalam mengolahnya. Sedangkan, orang yang mempunyai keahlian mengolahnya, ia tidak mempunyai lahannya atau modal berupa uang. Jadi, cara tersebut dapat menguntungkan kedua belah pihak.


















DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Pustaka Al-Hidayah: Tasikmalaya, 2008
Rusyd Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Cv Asy-Syifa :Semarang, 1990
                       Muhammad Abubakar, Terjemahan Subulis Salam, Al-Ikhlas: Surabaya, 1995
                       Usman, dkk, Fiqih, Akik Pustaka: Sragen, 2011
                       Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Sinar Baru Algen Sindo: Bandung, 1994
                       Fahrurrozi, Fikih, Kememterian Agama RI: Jakarta, 2014 


[1] Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram, Tasikmalaya, Pustaka al-Hidayah, 2008, hal:186
[2] Abubakar Muhammad, terjemahan Subulus Salam, Al Ikhlas, Surabaya, 1995, hal: 280
[3] Ibnu rusyd, bidayatul mujtahid, CV asy-syifa’, Semarang, 1990, hal:249
[4] Usman dkk, Fiqih, Akik Pustaka, Sragen, 2011, hal: 16
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algen Sindo, Bandung, 1994, hal: 300
[6] Ibid, hal: 17
[7] Fahrurrozi, fikih, kementrian agama RI, Jakarta, 2014, hal:110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar