HADITS-HADITS MU’AMALAH 2
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Hadits Ahkam
Dosen pengampu: Mufatihatuttaubah, S.Ag, M.Pd.I

Disusun
oleh kelompok 9:
1.
Dian
Novita N (1410110049)
2.
Faizatun
Ni’mah (1410110058)
3.
Ristiana
Nisa’ (1410110074)
Kelas:
B
![]() |
||
![]() |
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi
setiap manusia, banyak sektor-sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya
adalah pada sector pertanian. Masyarakat
pedesaan yang pada umumnya hanya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian,
dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang
memiliki lahan sendiri untuk digarap, yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga
yang tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga untuk mencukupi kebutuhannya,
mereka bekerja sama dengan yang memiliki
lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan imbalan bagi hasil.
Namun
ada juga mereka yang telah memiliki lahan sendiri, dikarenakan lahannya sedikit
mahal hasilnya belum mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk menambah penghasilan mereka juga bekerja
di lahanmilik orang lain denganimbalanbagihasilpertanian. Terdapatjugapemilik
yang
mempunyaibeberapabidangtanahtetapitidakdapatmenggarapnyakarenasuatusebabsehinggapenggarapannyadiwakili
orang laindenganmendapatsebagianhasilnya.
Kondisisepertiinipadaumumnyaterlihatpadamasyarakatpedesaankitasaatini.Dari
beberapapermasalahaniniadabaiknyakitarangkaikanmenjadisuatukesatuan yang
salingmemenuhiataumembutuhkanantarapermasalahan yang satudengan yang
lainnyayaitudalambentukkerjasamabagihasil.
B.
RumusanMasalah
1. ApapengertianMusaqah?
2. ApapengertianMuzara’ahdanMukhabarah?
3. ApapengertianMudharabahdanMurabahah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. HaditsdanTerjemah
Hadits yang
berkaitandenganMusaqah, Muzara’ah, Mukhabarah, Mudharabah,
danMurabahahadalahsebagaiberikut:
ََعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; ( أَنَّ رَسُولَ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ
مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ, أَوْ زَرْعٍ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةٍ
لَهُمَا: فَسَأَلُوا أَنْ يُقِرَّهُمْ بِهَا عَلَى أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا
وَلَهُمْ نِصْفُ اَلثَّمَرِ, فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
( نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا, فَقَرُّوا بِهَا, حَتَّى
أَجْلَاهُمْ عُمَرُ ). وَلِمُسْلِمٍ: ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ
يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ, وَلَهُ شَطْرُ ثَمَرِهَا )
Artinya:
“Dari Ibnu
Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah-buahan
dan tanaman. MuttafaqAlaihi. Dalam suatu riwayat Bukhari-Muslim: Mereka meminta
beliau menetapkan mereka mengerjakan tanah (Khaibar) dengan memperoleh setengah
dari hasil kurma, maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Kami tetapkan kalian dengan ketentuan seperti itu selama kami
menghendaki." Lalu mereka mengakui dengan ketetapan itu samapi Umar
mengusir mereka. Menurut riwayat Muslim: Bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam memberikan pohon kurma dan tanah Khaibar kepada kaum Yahudi di Khaibar dengan
perjanjian mereka mengerjakan dengan modal mereka dan bagi mereka setengah dari
hasil buahnya.[1]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
(من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )
Artinya: “Dari Abu
Hurairahra.Berkata: BersabdaRasulullah Saw (barangsiapa yang
memilikitanahmakahendaklahditanamiataudiberikanfaedahnyakepadasaudaranyajikaiatidakmaumakabolehditahansajatanahitu.”
(HaditsRiwayat
Muslim
مَنْ
كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا
أَخَاهُ
Artinya:“Barangsiapa yang
mempunyaitanah,
hendaklahiamenanaminyaatauhendaklahiamenyuruhsaudaranyauntukmenanaminya.”
(HaditsRiwayatBukhari)
B. AsbabulWurud
Hadits tersebet sebagai dalil sahnya parohan kebun dan sawah
sekalipun masanya tidak ditentukan. Dalam kitab Zadul Ma’ad karangan Ibnul
Qayim menyebutkan dalam kisah Khaibar itu terkandung dalil boleh parohan kebun
dan sawah dengan upah sebagian dari hasil buah atau hasil sawah itu, karena
sesungguhnya Rasulullah mempekerjakan orang-orang Khaibar untuk itu dan tetap
berlangsung penggarapan sawah dan kebun itu oleh mereka hingga beliau wafat,
dan tidak pernah dibatalkan. Pekerjaan itu tetap mereka lakukan hingga masa
para Khulafaur Rasyidin. Dan ini bukan sistem upah-mengupah sedikitpun, tetapi
dengan sistem kerja sama dan itu haampir sama dengan mudharabah.
Barang siapa yang memperbolehkan mudharaabah dan
mengharamkan musaqah, maka dia membedaakan dua sistem yang sama. Sesungguhnya
nabi Muhammad menyerahkan tanah itu kepada mereka agar mereka menggarapnya
dengan modal mereka sendiri, dam beliau tidaak menyerahkan benih kepada mereka
dan beliau tidak pernah membawakan benih sama sekali dari Madinah untuk pengarapan
itu. Itu menunjukkan baahwaa pettenjuk beliau
tidak ada persyaaratan benih dari pemilik tanah dan boleh saja benih itu
dari pihak penggarap taanah itu, dan ini adalah petunjuk Rasulullah dan
Khulafaur Rasyidin.[2]
C. TakhrijHadits
Hadits pertama diriwayatkan oleh Muttafaqun ‘Alaih (Imam
Bukhari dan Muslim), hadits tersebut dikatakan shahih, juga didukug oleh Imam
Malik dan Syafi’i Ats-Tsauri.[3]
Sedangkan hadits kedua diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dan hadits yang ketiga
diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
D. Analisa Dan Pembahasan
1.
Musaqah (Paroan Kebun)
Secara etimologi
musaqah berarti penyiraman, sedangkan menurut terminology yaitu kerja sama
antara pemilik kebun dan penggarap, sehingga kebun itu menghasilkan suatu yang
menjadi milik kedua belah pihak menurut perjanjian yang mereka buat.[4]
Akad ini
diharuskan (diperbolehkan) oleh agama karena banyak yang membutuhkannya. Memang
banyak orang yang mempunyai kebun, tetapi tidak dapat memeliharanya. Sedangkan
yang lain tidak mempunyai kebun, tetapi sanggup bekerja. Maka dengan adanya
peraturan ini keduanya dapat hidup dengan baik, hasil Negarapun bertambah
banyak, dan masyarakat bertambah makmur.[5]
Rukun Musaqah:
Rukun musaqah ada lima, yaitu:
a)
Pemilik keebun (musaaqi) dan penggarap (saqiy), keduanya
hendaklah orang yang berhak memelanjakan harta.
b)
Pohon yang dipelihara baaik yang buahnya musiman, tahunan,
maupun terus menerus.
c)
Pekerjaan yang harus diselesaikan penggarap harus jelas baik
waktu, jenis, dan sifatnya.
d)
Hasil yang diperoleh berupa buah, daun, kayu, atau
lain-lainya. Pembagian hasil pekerjaan ini harus dijelaskan pada waktu akad.
e)
Akad yaitu wajib qabul berupa tulisan, perkataan, atau
isyarat.
Syarat musaqah
Diisyaratkaan
untuk sahnya musaqah hal-hal sebagai berikut:
a)
Pohon atau tanaman yang dipelihara hendaknya jelas dapat
diketahui dengan mata atau dengan sifaatnya karena tidak sah
musaqah terhadap barang yang tidak jelas.
b)
Waktu pemeliharaan hendaknya jelas, misalnya setahun, dua
tahun, satu kali panen dan sebagaiya karena musaqah merupakan akad yang pasti
serupa jual beli sehingga terhindar dari kericuhan.
c)
Hendaknya akad dilaksanakan sebelum dibuat perjajjian karena
musaqah merupakan akad pekerjaan.
d)
Bagian penggarap hendaknya jelas, apakah separuh sepertiga,
dst[6]
2.
Muzara’ah dan Mukhabarah
Muzara’ah yaitu kerja sama antara
pemilik sawah atau ladang dan penggarap dengan bagi hasil menurut perjanjian
sedangkan benih di bebankan kepada pemilik tanah. Jika benih di bebankan pada
penggarap maka kerja sam ini di namakan mukhabarah.
Muzara’ah bentuk kerjasama yang rata-rata
berlaku pada perkebunan yang benihnya cukup mahal, misalnya cengkeh, pala,
jeruk manis, panili, dsb. Petani yang lemah tidak mampu membeli beni tersebut
dalam jumlah besar lagi pula tanaman tersebut memerlukan masa yang cukup lama
jadi, tanpa modal tidak mungkin hal itu di jangkaunya
Sedangkan
mukhabarah bentuk kerjasama yang rata-rata berlaku dalam hal tanaman yang harga
benihnya relative murah seperti padi, gandum, jagung, kacang tanah, dsb.
Dalam kaitannya dengan masalah hukum,
jumhur ulama’ membolehkan aqad muzara’ah dan mukhabarah. Karena selain
berdasaran praktek nabi dan juga praktek sahabat nabi yang biasa mlakukan aqad
bagi hasil tanaman, juga karena aqad ini menguntungkan kedua belah pihak. Menguntungkan
karena bagi pemilik tanah atau tanaman terkadang tidak mempunyai waktu dalam
mengolah tanah sedangkan orang yang mempunyai keahlian dalam mengolah tanah
tidak punya modal berupa uang atau tanah. [7]
3.
Mudharabah dan Murobahah
Mudharabah
adalah suatu bentuk kerjasama perniagaan dimana sipemilik modal menyetorkan
modalnya kepada pengelola dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan
kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan jika mengalami kerugian akan di
tanggung oleh sipemilik modal
Dasar hukum mudharabah didasarkan pada hadits yang
di riwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul mutholib jika
memberikan dana ke mitra usahanya secara mudhorobah ia mensyaratkan agar
dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berahaya, atau
membei ternak yang berparu-paru basah. Jika menyalahi aturan tersebut maka yang
bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat
tersebut kepada Rasulullah dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR.Thabrani)
Rukun
mudharabah:
1)
Adanya pemilik modal (sahibul maal)
2)
Adanya pelaku usaha (mudharib)
3)
Nisbat pembagiaan keuntungan
4)
Modal (ro’su maal)
5)
Akad kontrak (ijab qobul)
Murobahah
adalah transaksi pejualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan
keuntungan yang di sepakati oleh penjual
dan pembeli. Pembayaran atas aqad jual beli dapat dilakukan secara tunai
ataupun kredit. Hal yang membedakan murobahah dengan jual beli yang lainnya
adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang
dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh. Missal: seseorang yang hendak
membeli sepeda motor, karena ia tidak punya uang, maka ia datang ke bank
syari’ah dan meminta agar bank syari’ah membelikannya. Kemudian bank membeli
motor seharga 10 jt dan menjualnya pada nasabah tersebut dengan harga 11 jt,
dan nasabah dapat mencicil harga tersebut kepada bank sesuai dengan
kesepakatan.
Syarat-syarat
murobahah:
1)
Pihak penjual harus memberi tahu harga asal kepada nasabah
2)
Kontrak pertama (jual beli dengan pihak ke tiga) harus sah
3)
Kontrak harus bebas dari riba
4)
Pihak penjual harus menjelaskan semua cacat yang terjadi
setelah pembelian
5)
Pihak penjual harus menyampaikan semua hal yag terkait
dengan pembelian.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Musaqah,
Muzara’ah, Murabahah, Mudharabah, Mubarahah dalam konteks hukum adalah
diperbolehkan (mubah), selama kedua belah pihak saling mendapat keuntungan
masig-masing seesuai kesepakan yang telah dibuat di awal perjajian pada saat
akad. Di samping itu, mempunyai banyak manfaat, banyak orang kaya atau pemilik
sawah atau pemilik modal yang tidak bisa mengolahnya, maka ia membutuhkan
seorang yang ahli dalam mengolahnya. Sedangkan, orang yang mempunyai keahlian
mengolahnya, ia tidak mempunyai lahannya atau modal berupa uang. Jadi, cara
tersebut dapat menguntungkan kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Pustaka
Al-Hidayah: Tasikmalaya, 2008
Rusyd Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Cv Asy-Syifa
:Semarang, 1990
Muhammad Abubakar, Terjemahan
Subulis Salam, Al-Ikhlas: Surabaya, 1995
Usman, dkk, Fiqih, Akik
Pustaka: Sragen, 2011
Rasjid, Sulaiman, Fiqih
Islam, Sinar Baru Algen Sindo: Bandung, 1994
Fahrurrozi, Fikih, Kememterian
Agama RI: Jakarta, 2014
[1]
Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram, Tasikmalaya, Pustaka al-Hidayah,
2008, hal:186
[2]
Abubakar Muhammad, terjemahan Subulus Salam, Al Ikhlas, Surabaya, 1995,
hal: 280
[3]
Ibnu rusyd, bidayatul mujtahid, CV asy-syifa’, Semarang, 1990, hal:249
[4]
Usman dkk, Fiqih, Akik Pustaka, Sragen, 2011, hal: 16
[5]
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algen Sindo, Bandung, 1994,
hal: 300
[6]
Ibid, hal: 17
[7]
Fahrurrozi, fikih, kementrian agama RI, Jakarta, 2014, hal:110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar