PENDIDIKAN
DAN
HUBUNGAN
ANTAR KELOMPOK
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu : Siti Malaiha Dewi,
S.Sos., M.Si
Disusun Oleh :
Kelas B-PAI Kelompok 3
1. Aida
Aryati (1410110062)
2. Ristiana
Nisa’ (1410110074)
3. Nisaul
Hafiya (1410110078)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
merupakan salah satu hal yang utama yang mampu mempengaruhi pola pikir dan
perilaku baik seseorang maupun kelompok. Pendidikan sebagai salah satu sarana
untuk mencerdaskan individu, baik itu cerdas dalam ranah kognitif, afektif,
maupun psikomotorik. Pada dasarnya pendidikan merupakan kebutuhan
yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Pendidikan diperlukan oleh manusia
agar secara fungsional manusia diharapkan mampu memiliki kecerdasan baik
kecerdasan intelligence, spiritual maupun emosional untuk menjalani
kehidupannya dengan bertanggung jawab, baik secara pribadi, sosial maupun
profesional.
Kita tidak
dapat menghindari adanya suatu kelompok yang terbentuk dalam kehidupan bermasyarakat,. Baik itu karena terbentuk dengan sendirinya,
maupun terbentuk dengan terstruktur dan direncanakan. Sehingga dalam suatu
masyarakat, akan terbentuk beberepa kelompok yang saling berinteraksi dalam
masyarakat tersebut. Usaha untuk saling berinteraksi antar kelompok disebut
dengan hubungan antar kelompok.
Pembahasan bagaimana peran pendidikan dalam mempengaruhi hubungan
antar kelompok akan dibahas dalam makalah
ini. Serta korelasi
antara pendidikan dan hubungan antar kelompok sehingga mampu menciptakan suatu
masyarakat multicultural yang di dalamnya terdapat kelompok plural, serta mampu
menuju masyarakat yang harmonis dalam
masyarakat yang majemuk.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
kelompok?
2.
Bagaimana
hubungan antar kelompok?
3.
Bagaimana
korelasi antara pendidikan dan hubungan antar kelompok?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kelompok
Kehidupan manusia yang tidak lepas dari kehidupan berkelompok karena pada
dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia mempunyai jiwa sosial yang
terdiri dari fikiran dan perasaan. Keduanya akan menghasilkan kehendak yang
kemudian menjadi suatu bentuk tindakan. Sikap dan tindakan inilah yang kemudian
menjadi landasan jasmaniah manusia sebagai makhluk biologis. Menurut Abdul Rahmat:
“Pergaulan manusia pada awalnya
dimulai dari kelompok kecil dalam masyarakat, yang kemudian disebut keluarga.
Dari keluarga inilah kemudian tercipta pengalaman-pengalaman (social
experiences) yang nantinya mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan
kepribadian seseorang.”[1]
Menurut Joseph S. Roucek dalam Abullah
Idi, mengatakan bahwa “Suatu
kelompok meliputi dua atau lebih manusia yang diantara mereka terdapat beberapa
pola interasi yang dapat dipahami oleh para anggotanya atau orang lain secara
keseluruhan.” Sedangkan menururt Mayor Polak dalam Abdullah Idi,
mengatakan bahwa “Kelompok sosial adalah suatu group, yaitu
sejumlah orang yang ada antara hubungan satu sama lain dan hubungan itu
bersifat sebagai sebuah struktur.”[2]
Hal tersebut juga dikatakan oleh Sajogyo dan Pujiwati Sajogyo bahwa “Kelompok
terbentuk karena adanya relasi sosial yang bersifat langsung antara
anggota-anggotanya dalam soal-soal yang pokok atau penting.”[3]
Menurut Rogers dalam Abdul
Rahmat, mengemukakan bahwa kelompok adalah “Composed of People, in
interaction or communication and, together physically, with common interest or
goals.”[4]
Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa kelompok adalah sekumpulan dari beberapa
orang yang berinteraksi atau berkomunikasi dan hidup bersama dengan kepentingan
atau tujuan yang sama.
Berdasarkan definisi kemompok di atas, dapat disimpulkan bahwa kelompok
adalah sebagai suatu
kumpulan dari dua orang atau lebih yang
mempunyai hubungan terstruktur dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga
mengakibatkan tumbuhnya rasa solidaritas antar sesama anggota.
Menurut Charles
Harton Colley dalam Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati membagi kelompok menjadi
dua bagian, yaitu kelompok primer (Primary Group) dan kelompok sekunder
(Secondary Group).
“Kelompok primer atau face to face group merupakan kelompok sosial yang paling
sederhana, di mana anggotanya saling mengenal serta ada kerja sama yang erat.
Contohnya keluarga, kelompok sepermainan, dan lain-lain. Sedangkan kelompok
sekunder adalah kelompok yang terdiri dari banyak orang, yang sifat hubungannya
tidak berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga tidak langgeng. Contohnya
hubungan kontrak jual beli.”[5]
Jadi, hubungan
dan interaksi di dalam sebuah keluarga dan hubungan antar teman dekat merupakan bagian dari kelompok primer, di mana mereka saling
mengenal dengan baik sosok pribadi tersebut sehingga terjalin kedekatan antara
satu dengan yang lainnya. Sedangkan, hubungan yang terjadi antara seorang
pembeli dan penjual merupakan bagian dari kelompok sekunder, di mana hubungan
mereka hanya sebatas interaksi saling membutuhkan dalam hubungan jual beli.
B.
Hubungan
Antar Kelompok
Menurut Homans dalam Abdul Rahmat mengemukakan bahwa
ada tiga konsep tentang kelompok sosial, yaitu kegiatan, interaksi dan
perasaan.[6]
Kegiatan merupakan perilaku seseorang yang tampak mengenai suatu bentuk
peristiwa yang dilakukan oleh para aggotanya. Misalnya seseorang yang mencari
buku di perpustakaan untuk mengerjakan tugas kelompok. interaksi merupakan
segala macam bentuk kegiatan yang mampu merangsang seseorang untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya dalam mengerjakan tugas kelompok
perlu adanya komunikasi antar anggota. Perasaan merupakan suatu hal yang muncul
secara subjektif, baik pada setiap anggota kelompok maupun antar kelompok.
Misalnya, rasa tidak suka kepada seseorang yang ditimbukan karena adanya
pebedaan pendapat antara anggota kelompok
yang satu dengan anggota yang lain. Hal ini menimbulkan suatu prasangka
terhadap antar anggota kelompok maupun antar kelompok.
Prasangka merupakan suatu hal wajar yang timbul bila
terjadi hubungan antara dua kelompok yang berlainan. Manusia sadar akan
kesamaan dalam kalangannya sendiri dan merasa solider dengan kelompok yang
diikutinya. Sebaliknya, timbul rasa tidak suka terhadap orang yang berbeda.
Perasaan itulah yang menimbulkan perasaan loyalitas terhadap kelompok sendiri dan rasa bermusuhan terhadap semua
yang mengancam rasa kekompakan itu.
Menurut S.
Nasution mengatakan bahwa “Pada umunya orang tidak mau terang-terangan mengaku
bahwa ia berprasangka dan biasanya mencari perlindungan di belakang
alasan-alasan yang mulia.”[7] Hal itu disebabkan karena pada umumnya seseorang akan
lebih menjaga perasaan kepada orang yang ia prasangkai. Menurut S. Nasution
mengatakan bahwa “Prasangka bukanlah suatu insting yang dibawa lahir, melainkan
sesuatu yang dipelajari. Karena prasangka itu dipelajari, maka dapat diubah
atau dikurangi dan dapat pula dicegah timbulnya.”[8]
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati mengatakan bahwa “Paham prasangka dalam kelompok-kelompok sosial haruslah dihindari karena
kelompok-kelompok sosial merupakan lawan individu, keduanya hanya dapat
dimengerti bila dipelajari di dalam hubungan antara yang satu dengan yang
lain.”[9]
Jadi, sebuah
prasangka yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu kelompok seharusnya
diminimalkan, karena prasangka itu mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak
harmonis antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Selain itu,
prasangka juga menimbulkan masalah-masalah sosial dan kesenjangan sosial dalam
suatu masyarakat.
C.
Korelasi
Antara Pendidikan dan Hubungan Antar Kelompok
Dunia pendidikan yang di dalamnya terdapat berbagai
jenis sifat manusia dan berasal dari kelompok sosial yang berbeda-beda,
mengakibatkan adanya pembentukan komunikasi yang dibangun dari sisi pribadi
yang sama. Seseorang akan mencari teman bicara yang memiliki pandangan yang
sejalan dan cocok dengan pribadinya. Menurut Abdullah Idi, murid-murid di
sekolah sering menunjukkan perbedaan asal kesukuan/etnis, agama, adat istiadat
dan kedudukan sosial. Berdasarkan perbedaan itu mungkin timbul golongan
minoritas di kalangan murid-murid, yang tersembunyi atau nyata. Kelompok dalam
sekolah dapat dikategorikan berdasarkan:[10]
Pertama, status sosial orang
tua murid. Status sosial orang tua murid sangat mempengaruhi pergaulan antar siswa.
Selain faktor kecocokan berdasarkan pribadi seseorang, murid sering melihat
kondisi orang tua dari temannya tersebut. Tidak sedikit murid yang berasal
dari kalangan atas memilih berteman dengan anak yang selevel dengan dirinya
atau bahkan lebih tinggi darinya, mereka tidak mau berteman dengan anak yang
levelnya berada di bawahnya.
Kedua, hobi/minat/kegemaran.
Sekolah yang memfasilitasi hobi/minat/kegemaran murid-muridnya melalui
ekstrakurikuler tak jarang malah mengakibatkan munculnnya kelompok-kelompok
murid. Anak-anak yang emosionalnya
dibangun melalui ikatan
antar anggota di klub-nya itu cenderung bergaul dengan teman seklubnya
dibanding dengan teman yang bukan dari klub yang diikutinya itu. Misalnya,
murid yang mengikuti ekstrakurikuler musik, dia akan lebih suka berteman dengan
teman yang menyukai musik juga dibanding berteman dengan
teman yang suka menulis (jurnalistik).
Ketiga, intelektualitas.
Tingkat kepandaian di antara siswa terkadang membuat murid-murid memilih
berteman dengan anak yang lebih pandai, sehingga murid-murid yang merasa
dirinya kurang pandai akan canggung berteman dengan anak yang pandai tersebut dan
berkumpul dengan anak yang tingkat kepandaiannya sama.
Keempat, jenjang kelas.
Pembagian kelas-kelas yang ada di sekolah membuat murid-murid selalu bersama
dengan teman sekelasnya,
tidak jarang mereka membuat kelompok-kelompok yang tersusun dari murid-murid di
kelasnya. Misalnya siswa
kelas I jarang kita jumpai berteman dengan kelas diatasnya seperti kelas
IV,V,VI.
Kelima, agama. Peluang
terbentuknya kelompok dapat berawal dari kesamaan agama, murid akan merasa
nyaman dengan teman yang seiman. Apabila hendak melakukan diskusi keagamaan
akan lebih mudah dan tidak berpikir panjang untuk menanyakan hal aqidah dengan
temannya itu. Namun, menurut Abdullah Idi, “Hal ini bukanlah faktor dominan di
kalangan anak sekolah.”[11]
Keenam, asal daerah. Daerah yang sama terkadang mendorong
siswa untuk berhubungan lebih dekat dibandingkan berhubungan dengan siswa yang
memiliki daerah berbeda. Namun menurut Abdullah Idi, “Hal tersebut bukan
merupakan factor dominan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar siswa di
sekolah tersebut berasal dari daerah yang sama.”[12]
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas,
Abdullah Idi memberikan beberapa upaya yang dapat dilakukan pendidik atau
sekolah untuk mengatasi
masalah yang muncul dalam interaksi antar kelompok, di antaranya, sebagai
berikut :
1.
Pemberian informasi, diskusi kelompok, hubungan pribadi, dan sebagainya.
2.
Guru dapat menceritakan bagaimana setiap kelompok itu sangat berpengaruh
terhadap kelompok lain.
3.
Menanamkan nilai-nilai toleransi antar siswa.
4.
Membuka kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan interaksi sosial.
5.
Menggunakan teknik bermain peranan atau sosiodrama.
6.
Menggunakan kegiatan ekstra kulikuler.[13]
Jadi, masalah
yang terjadi dalam hubungan antar kelompok dapat diselesaikan melalui
pendidikan. Di mana, dalam pendidikan
diajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama manusia dan bagaiamana
menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, maka kemampuan dalam menyelesaikan masalah semakin mudah diatasi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Kelompok
adalah sebagai suatu
kumpulan dari dua orang atau lebih yang
mempunyai hubungan terstruktur dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga
mengakibatkan tumbuhnya rasa solidaritas antar sesama anggota.
2.
Menurut Homans dalam Abdul Rahmat mengemukakan bahwa
ada tiga konsep tentang kelompok sosial, yaitu kegiatan, interaksi dan perasaan. Ketiga konsep tersebut dapat meningkatkan rasa
solidaritas antar anggota kelompok.
3.
Masalah yang terjadi dalam hubungan antar kelompok
dapat diselesaikan melalui pendidikan.
Di mana, dalam pendidikan diajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama
manusia dan bagaiamana menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi. Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka kemampuan dalam menyelesaikan masalah
semakin mudah diatasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahmat, Abdul.
Sosiologi Pendidikan. Gorontalo: Ideas Publishing. 2012.
Idi, Abullah. Sosiologi
Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2013.
Nasution, S.
Sosilogi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2010.
Sajogyo; Pujiwati Sajogyo. Sosiologi
Pedesaan. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press. 1996.
Soekanto, Soerjono;
Budi Sulistyowati. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2013.
[2] Abullah
Idi, Sosiologi Pendidikan : Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 117.
[3] Sajogyo dan Pujiwati Sajogyo, Sosiologi
Pedesaan,Yogyakarta : Gajah Mada University
Press, 1996, hlm 105.
[5] Soerjono
Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013, hlm. 116.