Kamis, 27 Oktober 2016

Kelahiran Hingga Masa Remaja Nabi Muhammad SAW

KELAHIRAN HINGGA MASA REMAJA
NABI MUHAMMAD SAW

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sirah Nabawiyah
Dosen Pengampu : Ulfah Rahmawati, M.Pd.I
 









Disusun Oleh :
Kelompok 2 Kelas B-PAI

1.    Rois Mansur                         (1410110042)
2.    Azizatul Muna                       (1410110061)
3.    Ristiana Nisa’                        (1410110074)

 


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
TAHUN 2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Nuansa kebodohan yang masih sangat kental melakat pada masyarakat bangsa Arab saat itu membuat moral manusia semakin menjadi-jadi. Gurun tandus yang dikelilingi gurun pasir dan gunung-gunung, yang mana pada masa itu kehidupan manusia sangatlah buruk, sehingga disebutlah pada masa itu dengan zaman jahiliyah atau zaman kebodohan manusia, dilahirkanlah seorang manusia pilihan Allah SWT sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, sang utusan yang pada dirinya terletak untaian mutiara hikmah sebagai obor penerang bagi kehidupan sekalian penghuni alam.
Beliau merupakan pembawa cahaya iman, sebagai panutan akhlak yang mulia bagi umat manusia dan jin sampai akhir kehidupan di dunia ini. Beliau adalah bernama Muhammad SAW, seorang manusia pilihan yang dilahirkan dengan penuh kemuliaan hingga akhir hayatnya.
Satu-satunya rasul Allah yang diutus untuk semua ras dan golongan adalah nabi Muhammad SAW. Karena itu ajarannya sangat universal, tidak hanya tentang ibadah dan keakhiratan, namun juga urusan-urusan duniawi yang mencakup semua sisi kehidupan manusia. Beliau adalah contoh dan teladan yang baik bagi semua umat. Dari Kisah perjalanan hidup Nabi, kita sebagai manusia biasa dapat mengambil berbagai teladan agar kita tidak tersesat dalam pergaulan yang salah.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW?
2.    Bagaimana sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW semasa kecil hingga remaja?
3.    Apa ibrah terdapat dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad semasa kecil hingga remaja?

 BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Muhammad dilahirkan dari keluarga yang bersih dan mempunyai silsilah terhormat yang menjadi pusat segala keutamaan orang-orang Arab dan jauh dari kecenderungan-kecenderungan jahat. Pada Subuh hari Senin, 12 Rabi’aul Awal tahun Fill ke-1, bertepatan dengan tanggal 20 April 571 Masehi, lahirlah Nabi Muhammad SAW dengan selamat di rumah ibunya di kampung Bani Hasyim di kota Makkah Al Mukarromah.[1] Ketika itu yang menjadi bidan untuk merawatnya adalah Siti Syifa’ ibu sahabat Abdur Rahman bin Auf r.a. Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada tahun gajah yakni tahun saat Abraham al-Asyram berusaha menyerang Makkah dan menghancurkan Ka’bah. Allah  lalu menggagalkannya dengan mukjizat yang mengagumkan sebagaaimana diceritakan dalam al-Qur’an.
Pada saat itu Abdul Mutholib sedang Thowaf di sekeliling Ka’bah. Setelah itu datang utusan Aminah menghadap kepadanya dengan menyampaikan kabar bahwa Siti Aminah telah melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Dengan kegembiraan dan perasaan tidak sabar lagu, Abdul Mutholib tergesa-gesa datang ke rumah Aminah untuk melihat cucunya yang baru lahir.[2] Kemudian kakeknya datang penuh suka cita dan membawa Rasulullah saw ke Ka’bah dan seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Sekalipun kakek beliau sangat mengasihinya, tetapi beliau tetap seorang anak yatim yang lahir setelah ayahandanya wafat. Ayahandanya, Abdullah meninggalkan ketika ibunya mengandungnya 2 bulan.
1.    Nabi Muhammad SAW Disusukan
Tradisi di kalangan bangsa Arab, mencari wanita-wanita untuk menyusui anak-anaknya. Hal ini dilakukan juga menghindarkan anak-anaknya dari penyakit, agar bayi tumbuh kuat, dan melatih bahasa Arab dengan fasih. Setelah tiga hari disusukan oleh ibunya, Aminah, sambil menunggu orang dari luar yang akan menyusui dan mengasuhnya, Nabi Muhammad SAW disusukan kepada seorang perempuan bernama Tsuwaibah, budak pamannnya, Abu Lahab yang telah dimerdekakan. Nabi Muhammad SAW disusukan oleh Tsuwaibah hanya dalam beberapa hari, kemudian beliau disusukan dan diasuh oleh Halimah binti Abu Zuaib, seorang perempuan dari dusun Bani Sa’ad, istri Abu Kabsyah.[3]
Semenjak bayi itu berada ditangannya, keluarga Halimah mendapatkan keberkahan. Sebelum itu, ia hidup menderita dan kekurangan. Namun Allah memberikan rahmat-Nya, dan menganugerahinya banyak makanan. Hewan peliharannya, seperti onta yang tua dan tidak ada air susunya kini menjadi terisi penuh, bahkan kedelai yang diunggangi olehnya berjalan lebih cepat daripada kedelai rombongannya, kambingnya  kenyang dan susunya penuh.[4]
2.      Nabi Muhammad SAW Dikhitan dan Diberi Nama
Salah satu adat kebisaan Bangsa Arab pada masa itu, terutama para bangsawan Quraisy Mekkah adalah jika anak laki-laki yang sudah menginjak usia tujuh hari, dia akan dikhitan dan diberi nama. Oleh sebab itu, ketika Nabi SAW sudah berusia tujuh hari, dia dikhitan oleh kakeknya sendiri (Abdul Muthalib) kemudian diberi nama Muhammad.[5]

B.  Kehidupan Nabi Muhammad SAW Semasa Kecil Hingga Remaja
1.    Kejadian yang Aneh
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Anas mengatakan, bahwa Malaikat Jibril mendatangi MuhammadSAW di saat beliau sedang bermain-main dengan anak-anak lainnya. Beliau kemudian diajak pergi, lalu dibaringkan, dibedah dadanya lalu dikeluarkan hatinya. Dari hati beliau diambil segumpal darah hitam, lalu Malaikat Jibril berkata: “Inilah bagian setan yang ada dalam tubuhmu!”. Hati beliau lalu di cuci dengan air Zamzam dalam sebuah bokor kencana, kemudian diletakkan kembali pada tempat semula, lalu dada beliau ditutup kembali.
Anak-anak lain yang bermain-main dengan beliau lari menemui ibu susuan dan memberitahukan bahwa Muhammad SAW mati dibunuh orang. Semua anggota keluarga datang ke tempat beliau dan mereka melihat Muhammad SAW dalam keadaan cemas dan pucat pasi.[6]
2.    Kematian Ibu
Ibu Nabi meninggal saat beliau berumur enam tahun. Awalnya, Siti Aminah hendak pergi ke Madinah untuk berziarah menegok family yang ada di sana, beliau juga diajak menziarahi makam ayahnya. Dengan takdir Allah SWT, ketika perjalanan mereka sampai di satu tempat bernama Abwaa’, Siti Aminah jatuh sakit dan beberapa hari kemudian wafat dan dikuburkan di tempat itu juga. Jadi, ketika itu, Nabi SAW kembali ke Mekkah bersama Ummu Aiman, budak perempuan peninggalan ayahnya.[7]
3.    Kematian Kakek
Ketika ditinggalkan ibunya, lalu Nabi Muhammad dirawat dan diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Dalam pemeliharaan dan asuhan kakeknya, beliau sangat bahagia, akan tetapi sayang, keadaan yang demikian itu tidak lama beliau merasakan kegembiraan dan kebahagiaan di bawah asuhan kakeknya, tiba-tiba oraang tua yang terhormat itu wafat, sedangkan Nabi SAW ketika itu baru berusia delapan tahun. Abdul Muthalib meninggal dunia dalam usia 80 tahun.[8] Dengan demikian, baru dua tahun berselang ibunya meninggal, sekarang datang pula saat kakeknya meninggal.
4.    Di bawah Asuhan Abu Thalib
Sepeninggal Abdul  Muthalib, Nabi Muhammad berada di bawah asuhan dan pengawasan Abu Thalib, pamannya. Kasih sayang dan kecintaan Abu Thalib atas nabi Muhammad tidak kurang dan tidak berbeda dari kasih sayang dan kecintaan Abdul Muthalib. Selanjutnya, Abu Thalib mengasihi dan menyayangi kemenakannya sebagaimana dia mengasihi dan menyayangi anak-anaknya sendiri. Demikianlah Nabi Muhammad pada waktu dalam pemeliharaan dan pengasuhan Abu Thalib.[9]
5.    Berpergian Ke Negeri Syam
Setelah Nabi Muhammad berusia kurang lebih 12 tahun, beliau sudah mulai dapat mengurus dirinya sendiri. Maka, Abu Thalib ketika itu berfikir hendak pergi ke Syam untuk berniaga. Akan tetapi ketika akan berangkat, tiba-tiba datanglah Nabi Muhammad meminta dengan sangat mengikuti pamannya pergi berniaga ke negeri Syam. Lantaran kasih sayang Abu Thalib kepada anak kemenakannya itu, terpaksalah beliau dibawanya. Demikianlah Nabi Muhammad SAW ikut pergi berniaga ke negeri Syam. Kepergian Nabi Muhammad SAW ke negeri Syam yang pertama kali terjadi pada tahun 583 M.
6.    Pertemuan Pendeta Bahira dengan Rasulullah
Abu Thalib dan anak kemenakannya, Muhammad, dalam perjalanan dari Mekkah ke negeri Syam, ketika sampai di kota Basrah, sebuah kota yang terletak di bagian selatan wilayah negeri Syam, mereka bertemu dengan seorang pendeta Nasrani bernama Bahira. Pendeta itu melihat wajah Nabi Muhammad SAW dengan pandangannya yang dalam. Kemuadian dia berwasiat kepada Abu Thalib  agar mengawasi dan menjaga benar-benar anak laki-laki yang dibawanya itu karena anak itu bukan anak sembarangan. Anak iitu kelak akan menjadi penutup sekalian nabi dan rasul Tuhan, dan kelak dia akan dimusuhi oleh kaum dan bangsanya. [10]
Pendeta tadi menyatakan demikian berdasarkan tanda-tanda yang ada pada diri anak itu dan ayat-ayat yang termaktub dalam kitab sucinya, Injil. Setelah Abu Thalib menerima wasiat semacam itu, usai urusan perniagaan dan perdagangannya di Syam selesai, dia segera pulang ke Mekkah bersama anak kemenaknnya itu.
7.    Ke Medan Perang Al-Fijar
Pada usia lima belas tahun, meletus Perang Fijar antara pihak Quraisy bersama Kinanah dengan komandan yang dipegang oleh Harb bin Umayyah, berhadapan dengan pihak Qais Ailan.[11] Perang ini bagi orang-orang Quraisy merupakan upaya untuk mempertahankan kesucian bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) dan Tanah Suci. Lambang-lambang kesucian itu merupakan sisa peninggalan agama Nabi Ibrahim a.s. yang masih tetap dihormati oleh orang-orang Arab.
Dinamakan perang Fijar, karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian tanah haram dan bulan-bulan suci tersebut yang dilakukan oleh orang-orang yang bersikap jahiliyah. Peperangan terjadi di suatu tempat bernama Nakhlah, yaitu suatu tempat yang berada antara kota Makkah dan Thaif. Nabi SAW ikut ke medan perang karena diajak dan ditarik oleh para pamannya yang ikut berperang dan yang memegang tampuk pimpinan perang saat itu.[12] Tentang apa yang dikerjakan oleh beliau dalam peperangan itu, para ulama ahli tarikh berselisih pendapat juga. Sebagian berpendapat bahwa beliau hanya mengumpulkan anak panah yang datang dari pihak musuh kegaris kaum Quraisy, lalu menyerahkan kepada para pamannya untuk dilepaskan kembali kearah pihak musuh dan sebagian yang lain mengatakan bahwa beliau juga turut melepaskan anak panah kearah musuh.[13]
8.    Menjadi Anggota Hilful-Fudhul
Pada saat itu kota Mekah sudah tidak ada keamanan lagi. Kekuasaan pihak Quraisy tidak sanggup menjamin keamanan para penduduk Mekah dan sekitarnya. Dalam lingkungan pemerintahan kota Mekah tidak ada jabatan kehakiman dan kepolisian guna mengadili kesalahan orang yang berbuat salah, guna menjamin serta menjaga keamanan hak milik dan jiwa orang dari gangguan orang-orang yang suka berbuat curang dan sewenang-wenangnya.
Berhubung dengan itu, atas inisiatif dan usaha beberpa orang Quraisy dari Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, Bani Abdul Manaf, Mani Zuhrah, dan Bani Taim yang dipelopori oleh Zubair bin Abdul Muthalib, pada suata hari diadakanlah salah suatu pertemuan penting bertempat dirumah Abdullah bin Jud'an at-Taimi, orang yang tertua dan bepengaruh dalam lingkungan mereka pada saat itu. Adapun yang dibicarakan dalam pertemuan itu berkaitan dengan tidak adanya kehakiman dan undang-undang guna melindungi kepentingan segenap penduduk di kota Makkah dan daerahnya, terutama untuk melindungi kaum yang lemah dan golongan lapisan bawah yang dianiaya oleh pihak yang kuat.
Putusan yang diambil dalam permusyawaratan itu singkatnya yaitu; di kota Makkah dan daerahnya diadakan suatu perserikatan yang bertujuan hendak memulihkan keamanan dan menegakkan keadilan bagi seluruh penduduk kota Makkah dan sekitarnya. Perserikatan itu dinamakan Hilful-Fudhul (sumpah utama) dan berpusat di kota Makkah.
Pada waktu itu Nabi Muhammad berusia dua puluh tahun. Sekalipun beliau dalam permusyawaratan itu tampak kelihatan paling muda, tetapi karena beliau itu seorang yang sudah dikenal sebagai seorang yang berpikiran cerdas, penyantun, dan berbudi luhur, maka ketika itu beliau terpilih menjadi salah seorang anggota pengurus perserikatan itu. Dan pilihan  ini diterima beliau dengan baik.[14]
9.    Mata Pencaharian Nabi Muhammad SAW
Ketika wafat, ayahnya tidak meninggalkan harta benda yang banyak, kecuali lima ekor unta, beberapa ekor kambing. Ketika beliau berusia kurang lebih empat tahun, yaitu waktu berada di bawaah asuhan Halimah, dengan kehendak sendiri telah ikut menggembala kambing milik ibu susuannya itu.[15] Sepulang beliau dari dusun Bani Sa’ad di kota Mekkah, beliaupun menggembala kambing lagi. Adapun kambing-kambing yang digembalanya, bukan kambing sendiri, bukan kambing dari peninggalan ayahnya, dan bukan pula kambing milik ibu dan kakeknya, melainkan milik penduduk Mekkah.
Pada usia dua puluh tahun, beliau pergi berdagang ke Syam menjalankan barang dagangan milik Khadijah. Ibnu ishaq menuturkan, Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita pedagang, terpandang dan kaya raya. Dia biasa menyuruh orang-orang untuk menjalankan barang dagangannya, dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka. Sementara orang-orang Quraisy memilki hobi berdagang. Tatkala Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan beliau, kredibilitas dan kemuliaan akhlak beliau, maka diapun mengirim utusan dan menawarkan beliau agar pergi ke Syam untuk menjalankan barang dagangannya.[16] Dia siap memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbalan yang pernah dia berikan kepada pedagang lain. Beliau harus pergi bersama seorang pembantu yang bernama Maisarah. Beliau menerima awaran ini. Maka beliau berangkat ke Syam yang kedua kalinya untuk berdagang dengan disertai Maisarah.[17]

C.    Ibrah Nabi Muhammad Ketika Masa Kelahiran Hingga Masa Remaja
Dari bagian sirah Nabi SAW diatas dapat diambil beberapa prinsip dan pelajaran yang penting antara lain sebagai berikut:
1.    Diantara hikmah keyatiaman Nabi Muhammad adalah agar musuh Islam tidak menemukan jalan keraguan seperti itu sehingga Rasul-Nya tumbuh dan berkembang jauh dari tarbiyah (asuhan) bapak, ibu dan kakeknya. Pada masa kanak-kanak yang pertama, sesuai dengan kehendak Allah, bahkan harus dijalani di pedalaman Bani Sa’ad, jauh dari keluarganya. Ketika kakeknya meninggal, ia berpindahan asuhan kepada pamannya, Abu Thalib, yang hidup sampai tiga tahun sebelum hijrah. Sampai akhir kehidupannya, pamannya tidak pernah menyatakan diri masuk Islam. Demikianlah hikmah yang Allah kehendaki agar Muhammad tumbuh sebagai yatim, dipelihara oleh inayah Allah semata, jauh dari tangan-tangan yang memanjakannya harta yang akan membuatnya hidup dalam kemewahan, agar jiwanya tidak cenderung kepada kemewahan dan kedudukan.[18]
2.    Keberkahan terjadi pada Halimah dalam segala hal. Nampak pada lancarnya air susu dari payudaranya dan lancarnya air susu pada binatang ternaknya yang sebelumnya tidak cukup untuk anaknya. Keberkahan itu juga nampak pada tenangnya terhadap bayi anaknya Halimah yang sebelumnya sering menangis, mengganggu ibunya, membuatnya tidak bisa tidur. Tiba-tiba anaknya menjadi tenang dalam keadaan kenyang dan diam sehinggga ibunya dapat tidur dan istirahat.[19] Juga terdapat keberkahan yang nampak pada ladang-ladang Halimah yang kembali menghijau setelah sebelumya mengalami kekeringan. Kambing susu untanya yang sudah tua dan berhenti meneteskan air susu bahkan kembali memproduksi air susu lagi. Kejadian ini menunjukkan ketinggian derajat dan martabat Rasulullah SAW di sisi Allah. Bahkan, semenjak kecilnya, diantara bentuk kemuliaan Allah kepadanya paling menojol adalah pemuliaan Allah kepada rumah Halimah as-Sa’diyah lantaran keberadaaanya dan penyusuannya di rumah itu. Kehadiran dan keberadaan Rasulullah SAW di tempat rumah Halimah menjadi sebab utama bagi datangnya keberkahan dan pemuliaan illahi.
3.    Tujuan peristiwa Pembelahan Dada yang di alami oleh Rasulullah SAW ketika berada di pedalaman Bani Sa’ad bukan untuk mencabut kelenjar kejahatan di dalam jasad Rasulullah SAW. Hal ini karena jika kejahatan itu bersumbernya terletak pada kelenjar yang ada di dalam jasad atau pada gumpalan yang ada pada salah satu bagiannya, niscaya orang jahat bisa menjadi baik bila melakukan operasi bedah. Akan tetapi, tampaknya tujuan peristiwa tersebut adalah sebagai pengumuman terhadap Rasulullah SAW, persiapan untuk (mendapatkan) pemeliharaan (‘ishmah) dan wahyu semenjak kecilnya dengan sarana-sarana material. Ini terjadi agara manusia lebih mudah mengimani Rasulullah SAW dan membenarkan risalahanya. Dengan demikan, peristiwa tersebut merupakan “operasi pembersihan spiritual”, tetapi melalui proses fisik empirik sebagai pengumuman Illahi kepada manusia. [20]
4.    Begitu merasakan kemampuan untuk bekerja, Rasulullah SAW segera melakukannya dan berusaha sekuat tenaga untuk meringankan sebagian beban nafkah dari pamannya. Barangkali hasil yang diperolehnya dari hasil pekerjaan yang dipilihkan Allah tersebut tidak begitu banyak dan penting bagi pamanya, tetapi ini merupakan akhlak yang mengungkapkan rasa syukur, kecerdasan watak, dan kebaikan perilaku. Akan tetapi, hikmahnya adalah menghendaki agar kita mengetahui bahwa harta manusia yang terbaik adalah harta yang diperolehnya dari usaha sendiri dan imbalan “pelayanan” yang diberikan kepada masyarakat dan saudaranya. Sebaliknya, harta yang terpuruk adalah harta yang didapatkan seseorang tanpa bersusah payah atau tanpa imbalan kemanfaatan yang diberikan masyarakat.[21]
5.    Dalam mengembala kambing dapat diambil hikmah dalam belajar bersabar, belajar rendah diri, belajar pemberani, belajar kasih sayang dan simpati, kecintaan untuk mendapatkan rezeki dari jerih payah sendiri dan belajar strategi.[22]




BAB III
PENUTUP
             
A.  Kesimpulan
1.    Muhammad dilahirkan dari keluarga yang bersih dan mempunyai silsilah terhormat yang menjadi pusat segala keutamaan orang-orang Arab dan jauh dari kecenderungan-kecenderungan jahat. Pada Subuh hari Senin, 12 Rabi’aul Awal tahun Fill ke-1, bertepatan dengan tanggal 20 April 571 Masehi, lahirlah Nabi Muhammad SAW dengan selamat di rumah ibunya di kampung Bani Hasyim di kota Makkah Al Mukarromah. Nabi Muhammad SAW disusukan oleh Tsuwaibah hanya dalam beberapa hari, kemudian beliau disusukan dan diasuh oleh Halimah. Ketika Nabi SAW sudah berusia tujuh hari, dia dikhitan oleh kakeknya sendiri (Abdul Muthalib).
2.    Sejarah kehidupan masa kecil Nabi Muhammad hingga remaja mengalami peristiwa-peristiwa sebagai berikut: Permbelahan dada, kematian ibunya (Siti Aminah), kematian kakeknya (Abdul Muthalib), dibawah asuhan Abu Thalib, berpergian ke negri Syam, pertemuan pendeta Bahira dengan Rasulullah, ke medan perang al-Fijar, menjadi anggota Hilful-Fudhul, bekerja sebagai pengembala dan pedagang.
3.    Hikmah yang Allah kehendaki agar Muhammad tumbuh sebagai yatim, dipelihara oleh inayah Allah semata, jauh dari tangan-tangan yang memanjakannya harta yang akan membuatnya hidup dalam kemewahan, agar jiwanya tidak cenderung kepada kemewahan dan kedudukan, pemuliaan Allah kepada rumah Halimah as-Sa’diyah lantaran keberadaaanya dan penyusuannya di rumah itu. Kehadiran dan keberadaan Rasulullah SAW di tempat rumah Halimah menjadi sebab utama bagi datangnya keberkahan dan pemuliaan illahi, Tujuan peristiwa Pembelahan Dada sebagai pengumuman terhadap Rasulullah SAW, persiapan untuk (mendapatkan) pemeliharaan (‘ishmah) dan wahyu semenjak kecilnya dengan sarana-sarana material, hikmahnya adalah menghendaki agar kita mengetahui bahwa harta manusia yang terbaik adalah harta yang diperolehnya dari usaha sendiri dan imbalan “pelayanan” yang diberikan kepada masyarakat dan saudaranya. Sebaliknya, harta yang terpuruk adalah harta yang didapatkan seseorang tanpa bersusah payah atau tanpa imbalan kemanfaatan yang diberikan masyarakat, dalam mengembala kambing dapat diambil hikmah dalam belajar bersabar, belajar rendah diri, belajar pemberani, belajar kasih sayang dan simpati, kecintaan untuk mendapatkan rezeki dari jerih payah sendiri dan belajar strategi.
B.  Saran
Semoga kita dapat mengambil pelajaran atau hikmah dibalik sejarah kelahiran nabi Muhammad SAW hingga masa remaja beliau. Menjadikannya suri tauladan bagi kita semua dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini agar senantiasa tergolong umat yang menjadi pengikutnya.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.















DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Asy Syarqowi, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Ali Muhammad ash-Shallabi, Sirah An-Nabawiyyah, Jakarta: Beirut Publishing, 2014.
Hanafi Al Mahlawi, Bercermin Pada Ujian Para Nabi, Jakarta: Mustaqim, 2003, hlm. 2013
Ibnu Ishaq, Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2015.
M. A. Sahali, Muhammad Sebagai Manusia dan Nabi, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006.
Moenawar Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW jilid 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Muhammad Al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004.
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buty, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press, 2010.




[1] Moenawar Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW jilid 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 67
[2] Ibid, 68
[3] Ali Muhammad ash-Shallabi, Sirah An-Nabawiyyah, Jakarta: Beirut Publishing, 2014, hlm. 39
[4] Muhammad Al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004, hlm. 61
[5]Moenawar Cholil, Op.Cit, hlm. 69
[6] Muhammad Al-Ghazali, Op.Cit, hlm.62
[7] Hanafi Al Mahlawi, Bercermin Pada Ujian Para Nabi, Jakarta: Mustaqim, 2003, hlm. 2013
[8] Ali Muhammad ash-Shallabi, Op.Cit, hlm. 45
[9] Moenawar Cholil, Op.Cit, hlm. 75
[10] Ibnu Ishaq, Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2015, hlm. 111.
[11] Ibid, hlm.114
[12] M. A. Sahali, Muhammad Sebagai Manusia dan Nabi, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006, hlm. 43
[13] Moenawar Cholil, Op.Cit, hlm. 77
[14] Ali Muhammad ash-Shallabi, Op.Cit, hlm. 52
[15] Moenawar Cholil, Op.Cit, hlm. 81
[16] Abdurrahman Asy Syarqowi, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 hlm. 49
[17] M. A. Sahali, OP.Cit, hlm.46
[18] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buty, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press, 2010, hlm. 33
[19]Ali Muhammad ash-Shallabi, Op.Cit, hlm. 42
[20] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buty, Op.Cit, hlm. 35
[21] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buty, Op.Cit, hlm. 40
[22] Ali Muhammad ash-Shallabi, Op.Cit, hlm. 47

1 komentar: