KELAHIRAN HINGGA MASA REMAJA
NABI MUHAMMAD SAW
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Sirah Nabawiyah
Dosen
Pengampu : Ulfah Rahmawati,
M.Pd.I
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Kelas B-PAI
1. Rois Mansur
(1410110042)
2. Azizatul Muna (1410110061)
3. Ristiana
Nisa’ (1410110074)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nuansa kebodohan yang masih sangat
kental melakat pada masyarakat bangsa Arab saat itu membuat moral manusia
semakin menjadi-jadi. Gurun
tandus yang dikelilingi gurun pasir dan gunung-gunung, yang mana pada masa itu
kehidupan manusia sangatlah buruk, sehingga disebutlah pada masa itu dengan
zaman jahiliyah atau zaman kebodohan manusia, dilahirkanlah seorang manusia
pilihan Allah SWT sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, sang utusan yang
pada dirinya terletak untaian mutiara hikmah sebagai obor penerang bagi
kehidupan sekalian penghuni alam.
Beliau merupakan pembawa cahaya iman, sebagai panutan akhlak yang mulia bagi umat
manusia dan jin sampai akhir kehidupan di dunia ini. Beliau adalah bernama
Muhammad SAW, seorang manusia pilihan yang dilahirkan dengan penuh kemuliaan
hingga akhir hayatnya.
Satu-satunya rasul Allah yang diutus untuk semua ras dan golongan adalah
nabi Muhammad SAW. Karena itu
ajarannya sangat universal, tidak hanya tentang ibadah dan keakhiratan, namun
juga urusan-urusan duniawi yang mencakup semua sisi kehidupan manusia. Beliau adalah
contoh dan teladan yang baik bagi semua umat. Dari Kisah perjalanan hidup Nabi, kita sebagai manusia biasa dapat
mengambil berbagai teladan agar kita tidak tersesat dalam pergaulan yang salah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW?
2. Bagaimana
sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW
semasa kecil hingga remaja?
3. Apa ibrah
terdapat dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad semasa kecil hingga remaja?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kelahiran Nabi
Muhammad SAW
Muhammad
dilahirkan dari keluarga yang bersih dan mempunyai silsilah terhormat yang
menjadi pusat segala keutamaan orang-orang Arab dan jauh dari
kecenderungan-kecenderungan jahat. Pada Subuh hari Senin, 12 Rabi’aul Awal tahun Fill ke-1, bertepatan
dengan tanggal 20 April 571 Masehi, lahirlah Nabi Muhammad SAW dengan selamat
di rumah ibunya di kampung Bani Hasyim di kota Makkah Al Mukarromah.[1]
Ketika itu yang menjadi bidan untuk merawatnya adalah Siti Syifa’ ibu sahabat
Abdur Rahman bin Auf r.a. Nabi
Muhammad SAW dilahirkan pada tahun gajah yakni tahun saat Abraham al-Asyram
berusaha menyerang Makkah dan menghancurkan Ka’bah. Allah lalu menggagalkannya dengan mukjizat yang
mengagumkan sebagaaimana diceritakan dalam al-Qur’an.
Pada saat itu Abdul Mutholib sedang Thowaf di
sekeliling Ka’bah. Setelah itu datang utusan Aminah menghadap kepadanya dengan
menyampaikan kabar bahwa Siti Aminah telah melahirkan seorang anak laki-laki
dengan selamat. Dengan kegembiraan dan perasaan tidak sabar lagu, Abdul
Mutholib tergesa-gesa datang ke rumah Aminah untuk melihat cucunya yang baru
lahir.[2] Kemudian
kakeknya datang penuh suka cita dan membawa Rasulullah saw ke Ka’bah dan seraya
berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Sekalipun kakek beliau sangat
mengasihinya, tetapi beliau tetap seorang anak yatim yang lahir setelah
ayahandanya wafat. Ayahandanya, Abdullah
meninggalkan ketika ibunya mengandungnya 2 bulan.
1.
Nabi Muhammad SAW Disusukan
Tradisi di
kalangan bangsa Arab, mencari wanita-wanita untuk menyusui anak-anaknya. Hal
ini dilakukan juga menghindarkan anak-anaknya dari penyakit, agar bayi tumbuh
kuat, dan melatih bahasa Arab dengan fasih. Setelah tiga hari disusukan oleh ibunya, Aminah, sambil menunggu orang
dari luar yang akan menyusui dan mengasuhnya, Nabi Muhammad SAW disusukan
kepada seorang perempuan bernama Tsuwaibah, budak pamannnya, Abu Lahab yang
telah dimerdekakan. Nabi Muhammad SAW disusukan oleh Tsuwaibah hanya dalam
beberapa hari, kemudian beliau disusukan dan diasuh oleh Halimah binti Abu
Zuaib, seorang perempuan dari dusun Bani Sa’ad, istri Abu Kabsyah.[3]
Semenjak
bayi itu berada ditangannya, keluarga Halimah mendapatkan keberkahan. Sebelum itu, ia hidup menderita dan kekurangan. Namun Allah memberikan
rahmat-Nya, dan menganugerahinya banyak makanan. Hewan peliharannya, seperti onta
yang tua dan tidak ada air susunya kini menjadi terisi penuh, bahkan kedelai
yang diunggangi olehnya berjalan lebih cepat daripada kedelai rombongannya,
kambingnya kenyang dan susunya penuh.[4]
2.
Nabi Muhammad SAW Dikhitan dan Diberi Nama
Salah satu adat kebisaan Bangsa Arab pada masa itu, terutama para bangsawan
Quraisy Mekkah adalah jika anak laki-laki yang sudah menginjak usia tujuh hari,
dia akan dikhitan dan diberi nama. Oleh sebab itu, ketika Nabi SAW sudah
berusia tujuh hari, dia dikhitan oleh kakeknya sendiri (Abdul Muthalib)
kemudian diberi nama Muhammad.[5]
B. Kehidupan Nabi Muhammad SAW Semasa Kecil Hingga Remaja
1. Kejadian yang
Aneh
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
Anas mengatakan, bahwa Malaikat Jibril mendatangi MuhammadSAW di saat
beliau sedang bermain-main dengan anak-anak lainnya. Beliau kemudian diajak pergi, lalu dibaringkan, dibedah dadanya lalu
dikeluarkan hatinya. Dari hati beliau diambil segumpal darah hitam, lalu
Malaikat Jibril berkata: “Inilah bagian setan yang ada dalam tubuhmu!”. Hati beliau lalu di cuci dengan air Zamzam dalam sebuah bokor
kencana, kemudian diletakkan kembali pada tempat semula, lalu dada beliau
ditutup kembali.
Anak-anak lain yang bermain-main dengan beliau lari menemui ibu susuan dan
memberitahukan bahwa Muhammad SAW mati dibunuh orang. Semua anggota keluarga datang ke tempat beliau
dan mereka melihat Muhammad SAW dalam keadaan cemas dan pucat pasi.[6]
2. Kematian Ibu
Ibu Nabi meninggal saat beliau berumur enam tahun.
Awalnya, Siti Aminah hendak pergi ke Madinah untuk berziarah menegok family
yang ada di sana, beliau juga diajak menziarahi makam ayahnya. Dengan takdir
Allah SWT, ketika perjalanan mereka sampai di satu tempat bernama Abwaa’, Siti
Aminah jatuh sakit dan beberapa hari kemudian wafat dan dikuburkan di tempat
itu juga. Jadi, ketika itu, Nabi SAW kembali ke Mekkah bersama Ummu Aiman,
budak perempuan peninggalan ayahnya.[7]
3. Kematian Kakek
Ketika ditinggalkan ibunya, lalu Nabi Muhammad dirawat
dan diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Dalam pemeliharaan dan asuhan kakeknya,
beliau sangat bahagia, akan tetapi sayang, keadaan yang demikian itu tidak lama
beliau merasakan kegembiraan dan kebahagiaan di bawah asuhan kakeknya,
tiba-tiba oraang tua yang terhormat itu wafat, sedangkan Nabi SAW ketika itu
baru berusia delapan tahun. Abdul Muthalib meninggal dunia dalam usia 80 tahun.[8]
Dengan demikian, baru dua tahun berselang ibunya meninggal, sekarang datang
pula saat kakeknya meninggal.
4. Di bawah Asuhan
Abu Thalib
Sepeninggal Abdul Muthalib, Nabi Muhammad berada di bawah asuhan
dan pengawasan Abu Thalib, pamannya. Kasih sayang dan kecintaan Abu Thalib atas
nabi Muhammad tidak kurang dan tidak berbeda dari kasih sayang dan kecintaan
Abdul Muthalib. Selanjutnya, Abu Thalib mengasihi dan menyayangi kemenakannya
sebagaimana dia mengasihi dan menyayangi anak-anaknya sendiri. Demikianlah Nabi
Muhammad pada waktu dalam pemeliharaan dan pengasuhan Abu Thalib.[9]
5. Berpergian Ke
Negeri Syam
Setelah Nabi Muhammad berusia kurang lebih 12 tahun,
beliau sudah mulai dapat mengurus dirinya sendiri. Maka, Abu Thalib ketika itu
berfikir hendak pergi ke Syam untuk berniaga. Akan tetapi ketika akan
berangkat, tiba-tiba datanglah Nabi Muhammad meminta dengan sangat mengikuti
pamannya pergi berniaga ke negeri Syam. Lantaran kasih sayang Abu Thalib kepada
anak kemenakannya itu, terpaksalah beliau dibawanya. Demikianlah Nabi Muhammad
SAW ikut pergi berniaga ke negeri Syam. Kepergian Nabi Muhammad SAW ke negeri
Syam yang pertama kali terjadi pada tahun 583 M.
6. Pertemuan
Pendeta Bahira dengan Rasulullah
Abu Thalib dan
anak kemenakannya, Muhammad, dalam perjalanan dari Mekkah ke negeri Syam,
ketika sampai di kota Basrah, sebuah kota yang terletak di bagian selatan
wilayah negeri Syam, mereka bertemu dengan seorang pendeta Nasrani bernama
Bahira. Pendeta itu
melihat wajah Nabi Muhammad SAW dengan pandangannya yang dalam. Kemuadian dia
berwasiat kepada Abu Thalib agar
mengawasi dan menjaga benar-benar anak laki-laki yang dibawanya itu karena anak
itu bukan anak sembarangan. Anak iitu kelak akan menjadi penutup sekalian nabi
dan rasul Tuhan, dan kelak dia akan dimusuhi oleh kaum dan bangsanya. [10]
Pendeta tadi menyatakan demikian berdasarkan
tanda-tanda yang ada pada diri anak itu dan ayat-ayat yang termaktub dalam
kitab sucinya, Injil. Setelah Abu Thalib menerima wasiat semacam itu, usai
urusan perniagaan dan perdagangannya di Syam selesai, dia segera pulang ke
Mekkah bersama anak kemenaknnya itu.
7. Ke Medan Perang
Al-Fijar
Pada usia lima belas tahun, meletus Perang Fijar antara pihak Quraisy
bersama Kinanah dengan komandan yang dipegang oleh Harb bin Umayyah, berhadapan
dengan pihak Qais Ailan.[11]
Perang ini bagi orang-orang Quraisy merupakan upaya untuk mempertahankan
kesucian bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) dan
Tanah Suci. Lambang-lambang kesucian itu merupakan sisa peninggalan agama Nabi
Ibrahim a.s. yang masih tetap dihormati oleh orang-orang Arab.
Dinamakan perang Fijar, karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian tanah
haram dan bulan-bulan suci tersebut yang dilakukan oleh orang-orang yang
bersikap jahiliyah. Peperangan terjadi di suatu tempat bernama Nakhlah,
yaitu suatu tempat yang berada antara kota Makkah dan Thaif. Nabi SAW ikut ke medan perang karena diajak dan ditarik oleh
para pamannya yang ikut berperang dan yang memegang tampuk pimpinan perang saat
itu.[12]
Tentang apa yang dikerjakan oleh beliau dalam peperangan itu, para ulama ahli
tarikh berselisih pendapat juga. Sebagian berpendapat bahwa beliau hanya
mengumpulkan anak panah yang datang dari pihak musuh kegaris kaum Quraisy, lalu
menyerahkan kepada para pamannya untuk dilepaskan kembali kearah pihak musuh
dan sebagian yang lain mengatakan bahwa beliau juga turut melepaskan anak panah
kearah musuh.[13]
8. Menjadi Anggota
Hilful-Fudhul
Pada saat itu kota Mekah sudah tidak ada keamanan lagi. Kekuasaan pihak
Quraisy tidak sanggup menjamin keamanan para penduduk Mekah dan sekitarnya.
Dalam lingkungan pemerintahan kota Mekah tidak ada jabatan kehakiman dan
kepolisian guna mengadili kesalahan orang yang berbuat salah, guna menjamin
serta menjaga keamanan hak milik dan jiwa orang dari gangguan orang-orang yang
suka berbuat curang dan sewenang-wenangnya.
Berhubung dengan itu, atas inisiatif
dan usaha beberpa orang Quraisy dari Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, Bani
Abdul Manaf, Mani Zuhrah, dan Bani Taim yang dipelopori oleh Zubair bin
Abdul Muthalib, pada suata hari
diadakanlah salah suatu pertemuan penting bertempat dirumah Abdullah bin Jud'an
at-Taimi, orang yang tertua dan bepengaruh dalam lingkungan mereka pada saat
itu. Adapun yang dibicarakan dalam pertemuan itu berkaitan dengan tidak adanya
kehakiman dan undang-undang guna melindungi kepentingan segenap penduduk di
kota Makkah dan daerahnya, terutama untuk melindungi kaum yang lemah dan
golongan lapisan bawah yang dianiaya oleh pihak yang kuat.
Putusan yang diambil dalam permusyawaratan
itu singkatnya yaitu; di kota Makkah dan daerahnya diadakan suatu
perserikatan yang bertujuan hendak memulihkan keamanan dan menegakkan keadilan
bagi seluruh penduduk kota Makkah dan sekitarnya. Perserikatan itu dinamakan Hilful-Fudhul (sumpah utama) dan berpusat di
kota Makkah.
Pada waktu itu Nabi Muhammad berusia dua puluh tahun. Sekalipun beliau
dalam permusyawaratan itu tampak kelihatan paling muda, tetapi karena beliau
itu seorang yang sudah dikenal sebagai seorang yang berpikiran cerdas,
penyantun, dan berbudi luhur, maka ketika itu beliau terpilih menjadi salah
seorang anggota pengurus perserikatan itu. Dan pilihan ini diterima
beliau dengan baik.[14]
9. Mata Pencaharian
Nabi Muhammad SAW
Ketika wafat, ayahnya tidak meninggalkan harta benda yang
banyak, kecuali lima ekor unta, beberapa ekor kambing. Ketika beliau berusia
kurang lebih empat tahun, yaitu waktu berada di bawaah asuhan Halimah, dengan
kehendak sendiri telah ikut menggembala kambing milik ibu susuannya itu.[15]
Sepulang beliau dari dusun Bani Sa’ad di kota Mekkah, beliaupun menggembala
kambing lagi. Adapun kambing-kambing yang digembalanya, bukan kambing sendiri,
bukan kambing dari peninggalan ayahnya, dan bukan pula kambing milik ibu dan
kakeknya, melainkan milik penduduk Mekkah.
Pada usia dua puluh tahun, beliau pergi berdagang ke Syam menjalankan
barang dagangan milik Khadijah. Ibnu ishaq menuturkan, Khadijah binti Khuwailid
adalah seorang wanita pedagang, terpandang dan kaya raya. Dia biasa menyuruh
orang-orang untuk menjalankan barang dagangannya, dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka. Sementara orang-orang Quraisy memilki hobi
berdagang. Tatkala Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan beliau,
kredibilitas dan kemuliaan akhlak beliau, maka diapun mengirim utusan dan
menawarkan beliau agar pergi ke Syam
untuk menjalankan barang dagangannya.[16]
Dia siap memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbalan yang pernah dia
berikan kepada pedagang lain. Beliau harus pergi bersama seorang pembantu yang
bernama Maisarah. Beliau menerima awaran ini. Maka beliau berangkat ke Syam yang
kedua kalinya untuk berdagang dengan disertai Maisarah.[17]
C. Ibrah Nabi Muhammad Ketika Masa Kelahiran Hingga
Masa Remaja
Dari
bagian sirah Nabi SAW diatas dapat diambil beberapa prinsip dan pelajaran yang
penting antara lain sebagai berikut:
1. Diantara
hikmah keyatiaman Nabi Muhammad adalah agar musuh Islam tidak menemukan jalan
keraguan seperti itu sehingga Rasul-Nya tumbuh dan berkembang jauh dari
tarbiyah (asuhan) bapak, ibu dan kakeknya. Pada masa kanak-kanak yang pertama,
sesuai dengan kehendak Allah, bahkan harus dijalani di pedalaman Bani Sa’ad,
jauh dari keluarganya. Ketika kakeknya meninggal, ia berpindahan asuhan kepada
pamannya, Abu Thalib, yang hidup sampai tiga tahun sebelum hijrah. Sampai akhir
kehidupannya, pamannya tidak pernah menyatakan diri masuk Islam. Demikianlah
hikmah yang Allah kehendaki agar Muhammad tumbuh sebagai yatim, dipelihara oleh
inayah Allah semata, jauh dari tangan-tangan yang memanjakannya harta yang akan
membuatnya hidup dalam kemewahan, agar jiwanya tidak cenderung kepada kemewahan
dan kedudukan.[18]
2. Keberkahan
terjadi pada Halimah dalam segala hal. Nampak pada lancarnya air susu dari
payudaranya dan lancarnya air susu pada binatang ternaknya yang sebelumnya
tidak cukup untuk anaknya. Keberkahan itu juga nampak pada tenangnya terhadap
bayi anaknya Halimah yang sebelumnya sering menangis, mengganggu ibunya,
membuatnya tidak bisa tidur. Tiba-tiba anaknya menjadi tenang dalam keadaan
kenyang dan diam sehinggga ibunya dapat tidur dan istirahat.[19]
Juga terdapat keberkahan yang nampak pada ladang-ladang Halimah yang kembali
menghijau setelah sebelumya mengalami kekeringan. Kambing susu untanya yang
sudah tua dan berhenti meneteskan air susu bahkan kembali memproduksi air susu
lagi. Kejadian ini menunjukkan ketinggian derajat dan martabat Rasulullah SAW
di sisi Allah. Bahkan, semenjak kecilnya, diantara bentuk kemuliaan Allah
kepadanya paling menojol adalah pemuliaan Allah kepada rumah Halimah
as-Sa’diyah lantaran keberadaaanya dan penyusuannya di rumah itu. Kehadiran dan
keberadaan Rasulullah SAW di tempat rumah Halimah menjadi sebab utama bagi
datangnya keberkahan dan pemuliaan illahi.
3. Tujuan
peristiwa Pembelahan Dada yang di alami oleh Rasulullah SAW ketika
berada di pedalaman Bani Sa’ad bukan untuk mencabut kelenjar kejahatan di
dalam jasad Rasulullah SAW. Hal ini karena jika kejahatan itu bersumbernya
terletak pada kelenjar yang ada di dalam jasad atau pada gumpalan yang ada pada
salah satu bagiannya, niscaya orang jahat bisa menjadi baik bila melakukan
operasi bedah. Akan tetapi, tampaknya tujuan peristiwa tersebut adalah sebagai
pengumuman terhadap Rasulullah SAW, persiapan untuk (mendapatkan) pemeliharaan
(‘ishmah) dan wahyu semenjak kecilnya dengan sarana-sarana material. Ini
terjadi agara manusia lebih mudah mengimani Rasulullah SAW dan membenarkan
risalahanya. Dengan demikan, peristiwa tersebut merupakan “operasi pembersihan
spiritual”, tetapi melalui proses fisik empirik sebagai pengumuman Illahi
kepada manusia. [20]
4. Begitu
merasakan kemampuan untuk bekerja, Rasulullah SAW segera melakukannya dan
berusaha sekuat tenaga untuk meringankan sebagian beban nafkah dari pamannya.
Barangkali hasil yang diperolehnya dari hasil pekerjaan yang dipilihkan Allah
tersebut tidak begitu banyak dan penting bagi pamanya, tetapi ini merupakan
akhlak yang mengungkapkan rasa syukur, kecerdasan watak, dan kebaikan perilaku.
Akan tetapi, hikmahnya adalah menghendaki agar kita mengetahui bahwa harta
manusia yang terbaik adalah harta yang diperolehnya dari usaha sendiri dan
imbalan “pelayanan” yang diberikan kepada masyarakat dan saudaranya.
Sebaliknya, harta yang terpuruk adalah harta yang didapatkan seseorang tanpa
bersusah payah atau tanpa imbalan kemanfaatan yang diberikan masyarakat.[21]
5. Dalam
mengembala kambing dapat diambil hikmah dalam belajar bersabar, belajar rendah
diri, belajar pemberani, belajar kasih sayang dan simpati, kecintaan untuk
mendapatkan rezeki dari jerih payah sendiri dan belajar strategi.[22]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Muhammad
dilahirkan dari keluarga yang bersih dan mempunyai silsilah terhormat yang
menjadi pusat segala keutamaan orang-orang Arab dan jauh dari
kecenderungan-kecenderungan jahat. Pada Subuh hari Senin, 12 Rabi’aul Awal tahun Fill ke-1, bertepatan
dengan tanggal 20 April 571 Masehi, lahirlah Nabi Muhammad SAW dengan selamat
di rumah ibunya di kampung Bani Hasyim di kota Makkah Al Mukarromah. Nabi Muhammad SAW disusukan oleh Tsuwaibah hanya dalam beberapa hari,
kemudian beliau disusukan dan diasuh oleh Halimah. Ketika Nabi SAW sudah
berusia tujuh hari, dia dikhitan oleh kakeknya sendiri (Abdul Muthalib).
2.
Sejarah kehidupan masa kecil Nabi Muhammad hingga remaja mengalami
peristiwa-peristiwa sebagai berikut: Permbelahan dada, kematian ibunya (Siti
Aminah), kematian kakeknya (Abdul Muthalib), dibawah asuhan Abu Thalib,
berpergian ke negri Syam, pertemuan pendeta Bahira dengan Rasulullah, ke medan
perang al-Fijar, menjadi anggota Hilful-Fudhul, bekerja sebagai pengembala dan
pedagang.
3. Hikmah
yang Allah kehendaki agar Muhammad tumbuh sebagai yatim, dipelihara oleh inayah
Allah semata, jauh dari tangan-tangan yang memanjakannya harta yang akan
membuatnya hidup dalam kemewahan, agar jiwanya tidak cenderung kepada kemewahan
dan kedudukan, pemuliaan
Allah kepada rumah Halimah as-Sa’diyah lantaran keberadaaanya dan penyusuannya
di rumah itu. Kehadiran dan keberadaan Rasulullah SAW di tempat rumah Halimah
menjadi sebab utama bagi datangnya keberkahan dan pemuliaan illahi, Tujuan
peristiwa Pembelahan Dada sebagai pengumuman terhadap Rasulullah SAW,
persiapan untuk (mendapatkan) pemeliharaan (‘ishmah) dan wahyu semenjak
kecilnya dengan sarana-sarana material, hikmahnya adalah menghendaki agar kita
mengetahui bahwa harta manusia yang terbaik adalah harta yang diperolehnya dari
usaha sendiri dan imbalan “pelayanan” yang diberikan kepada masyarakat dan
saudaranya. Sebaliknya, harta yang terpuruk adalah harta yang didapatkan
seseorang tanpa bersusah payah atau tanpa imbalan kemanfaatan yang diberikan
masyarakat, dalam mengembala kambing dapat diambil hikmah dalam belajar
bersabar, belajar rendah diri, belajar pemberani, belajar kasih sayang dan
simpati, kecintaan untuk mendapatkan rezeki dari jerih payah sendiri dan
belajar strategi.
B. Saran
Semoga kita dapat mengambil pelajaran atau hikmah
dibalik sejarah kelahiran nabi Muhammad SAW hingga masa remaja beliau.
Menjadikannya suri tauladan bagi kita semua dalam menjalankan kehidupan di muka
bumi ini agar senantiasa tergolong umat yang menjadi pengikutnya.
Penulis
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna,
maka dari itu kritik dan saran dari
pembaca
sangat dibutuhkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
Asy Syarqowi, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Ali
Muhammad ash-Shallabi, Sirah An-Nabawiyyah, Jakarta: Beirut Publishing,
2014.
Hanafi
Al Mahlawi, Bercermin Pada Ujian Para Nabi, Jakarta: Mustaqim, 2003,
hlm. 2013
Ibnu
Ishaq, Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah, Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2015.
M.
A. Sahali, Muhammad Sebagai Manusia dan Nabi, Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2006.
Moenawar
Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW jilid 1, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.
Muhammad
Al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2004.
Muhammad
Sa’id Ramadhan Al-Buty, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press, 2010.
[1] Moenawar
Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW jilid 1, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001, hlm. 67
[4] Muhammad
Al-Ghazali, Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad, Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2004, hlm. 61
[10] Ibnu
Ishaq, Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah, Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2015, hlm. 111.
[19]Ali
Muhammad ash-Shallabi, Op.Cit, hlm. 42
mantep banget penyusunannya
BalasHapus