BAGIAN WARISAN
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Tafsir (Ahkam)
Dosen pengampu: M. Dhofir, M.Ag

Disusun oleh kelompok 8:
1.
M. Iftah Hafara M (1410110046)
2.
Saiful Huda
(1410110071)
3.
Ristiana Nisa’ (1410110074)
Kelas: B
![]() |
||
![]() |
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Seiring terbitnya matahari
kehidupan yang bersinar cerah pada hari ini, telah lahir sejumlah problem yang
belim pernah muncul pada hari-hari kemarin sebagai efek bola salju dari
perkembangan dan perluasan wilayah ilmu pengetahuan, baik secara vertical maupun
horizontal, juga sebagai hasil dari perkembangan sarana pengetahuan dan
teknologi yang semakiln beragam dan membengkak jumlahnya. Pada saat yang sama,
muncul berbagai tuntutan untuk memahami konsep usang tentang alam semesta.
Hukum
Kewarisan menurut
hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus
Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian
harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan
seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi
ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan
setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris
yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari
dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak
ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaiman pembagian hukum kewarisan menurut
Q.S An-Nisa: 9?
2. Mengapa anak laki-laki mendapat dua bagian
anak perempuan?
3. Apakah doktrin tersebut bersifat
diskriminatif terhadap perempuan?
C.
Teks Ayat dan Terjemahan
Dalam bab bagian warisan
ini, ayat yang akan dibahas adalah dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 11, berikut
adalah teks ayat beserta terjemahannya:
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ
نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا
تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا﴿۱۱﴾
Artinya:
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
D. Makna
Mufradat
لِلذَّكَرِ = Bagian anak laki-laki
مِثْلُ = Sama
حَظِّ = Bagian
الأنْثَيَيْنِ = Dua anak perempuan
ثُلُثَا = Dua pertiga
النِّصْفُ = Setengah
السُّدُسُ = Seperenam
الثُّلُثُ = Sepertiga
دَيْنٍ = Utang
E.
Asbabun Nuzul
Umrah binti Hazm, istri Sa’d ibn al-Rabi, menghadap kepada Rasulullah SAW
lalu berkata seraya menunjuk kepada dua anak kecil di sisinya, “Wahai
Rasulullah, ini adalah dua putri Sa’d ibn Al-Rabi. Ayah mereka gugur di medan
perang Uhud sehingga mereka kini yatim. Derita semakin berat karena paman
mereka mengambil harta mereka tanpa menyisakan sedikit pun. Tentu saja kedua
anak ini tidak akan bisa menikah tanpa harta.”
Rasulullah kemudian terbayang sosok dan kewiraan Sa’d ibn Al-Rabi ketika
berperang melindungi beliau. Selain itu Rasul juga iba pada kedua anak itu.
Namun beliau belum bisa menetapkan keputusan yang akan berkaitan dengan hak
waris dari ayah mereka. Akhirnya Rasul bersabda, “Allah akan menurunkan
ketetapan mengenainya.” Tidak lama berselang, Allah menurunkan ayat Al Qur’an
kepada Rasulullah yaitu Surat An Nisa ayat 11.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembagian warisan menurut Q.S An-Nisa’ Ayat 11
Telah kami jelaskan di dalam ayat-ayat yang terdahulu sebagian
riwayat-riwayat tentang sebab-sebab turunnya ayat mawaris.[1]
Berikut adalah pembagian warisan menurut Q.S An-Nisa’ ayat 11:
1.
Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya
sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan seseorang anak
laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang anak perempuan.[2]
a)
Anak perempuan tunggal saja mendapat ½
b)
Anak perempuan lebih dari dua orang mendapat 2/3[3]
c)
Anak perempuan bersama dengan anak laki-laki dengan bandingan pembagian
seorang anak laki-laki sama dengan dua orang perempuan
2.
Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan. Begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima
warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam
bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak. Hak ibu dan ayah dengan uraian:
a)
Ibu dan ayah masing-masing menerima 1/6 bila pewaris meninggal anak
b)
Ibu menerima 1/3 bila pewaris tidak ada meninggalkan anak
c)
Ibu menerima 1/6 bila pewaris tidak meninggalkan anak namun memiliki
beberapa orang saudara[4]
B. Mengapa anak
laki-laki mendapat dua bagian anak perempuan?
Surat An-Nisa’ ayat 11 merinci pembagian warisan baik untuk ahli waris
laki-laki maupun perempuan dengan status mereka masing-masing.Yang menjadi
persoalan dalam masalah kesetaraan gender adalah ketentuan yang terdapat pada
awal ayat 11 yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Kenapa anak laki-laki mendapat dua bagian anak perempuan? [5]
1.
Perspektif para mufasir
a.
At-Thabari
Menurut
at-Thabari, jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris
laki-laki dan perempuan secara bersamaan, maka anak laki-laki mendapat dua
bagian anak perempuan dari keseluruhan harta peninggalan. Ketentuan ini berlaku
tanpa melihat umur anak-anak tersebut , apakah anak itu masih kecil atau sudah
dewasa tetap mendapat bagian yang sama. Ayat ini turun sebagai korelasi
terhadap pembagian warisan yang berlaku pasa masyarakat Arab kala itu, dimana
mereka tidak memberikan warisan bagi ahli waris yang belum pernah berperang
sekalipun alasan tidak pernah ikut perang itu karena masih kecil dan juga mereka
tidak membagi warisan kepada kaum prempuan. Dalam uraiannya at-Thabari tidak
menjelaskan kenapa anak laki-laki dapat dua bagian anak perempuan.
b.
Ibn Katsir
Menurut Ibn
Katsir dengan ayat ini allah memerintahkan kepada kaum muslimim untuk berlaku
adil dalam pembagian warisan terhadap anak-anak, karena pada zaman jahiliyah
mereka memberikan semua warisan untuk anak laki-laki tanpa memberikan
sedikitpun untuk anak perempuan.[6]
Secara prinsip Allah memerintahkan untuk menerapkan prinsip persamaan dalam
pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan. Kala kemudian dalam ayat
ini anak laki-laki diberi dua bagian anak perempuan, hal itu disebabkan oleh
karena kebutuhan laki-laki terhadap harta lebih banyak dari pada perempuan.[7]
c.
Ar-Razi
Ar-Razi mengemukakan beberapa alasan mengapa anak
laki-laki mendapat dua bagian anak perempuan:
1)
Pengeluaran perempuan lebih sedikit karena suaminya telah menjamin
belanjanya, sedangkan pengeluaran laki-laki lebih banyak karena dia yang
menanggung belanja isterinya. Siapa yang pengeluarannya lebih banyak tentu
membutuhkan harta lebih banyak.
2)
Laki-laki lebih sempurna keadaanya dari pada perempuan, baik akal maupun
jabatan keagamaan seperti menjadi qadhi dan imam, begitu juga kesaksian
perempuan bernilai separo kesaksian laki-laki. Oleh sebab itu dia harus dapat
lebih banyak.
3)
Perempuan akalnya sedikit nafsunya banyak, jika diberi harta yang banyak
semakin besarlah kerusakan yang terjadi. Lelaki lebih bisa tidak emosional
dibandingkan wanita, sedangkan wanita lebih emosional.[8]
4)
Laki-laki, karena kesempurnaan akalnya akan membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang terpuju di dunia dan
mendapat pahala di akhirat, seperti membangun sekolah, membantu orang-orang
yang teraniaya , anak-anak yatim dan para janda. Laki-laki mampu melakukan itu
karena dia banyak bergaul dengan masyarakat. Sementara perempuan, karena kurang
pergaulannya dengan masyarakat tidak mampu melakukan hal itu.
2.
Perspektif Hamkan dan Hasbi
Menurut Hamka,
laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan karena tanggung jawab laki-laki
terhadap harta benda jauh lebih berat dari pada tanggung jawab perempuan. Dalam
Islam, seorang perempuan tidaklah terlepas dari tanggung jawab dan perlindungan
laki-laki. Pada waktu kecil di bawah perlindungan ayahnya, setelah bersuami dia
berada dalam tanggung jawab suaminya. Kalau suaminya telah tua atau mati dan
dia sendirianpun telah tua pula, dia di bawah tanggungan anak-anaknya yang
laki-laki. Oleh sebab itu wajar dan adil kalau bagian untuk laki-laki dua kali
bagian perempuan. [9]
Hasbi juga
mempunya pandangan yang sejalan dengan Hamka. Anak laki-laki mendapat bagian
dua kali lipat dibandingkan anak perempuan karena anak laki-laki membelanjakan
harta untuk dirinya dan isterinya, sedangkan perempuan membelanjakan untuk
dirinya saja. Jika ia telah bersuami, maka nafkahnya ditanggung suami. Menurut
hasbi, firman ini membantah dengan tegas adat jahiliyah yang tidak memberikan
warisan kepada anak perempuan.
C. Apakah doktrin
tersebut bersifat diskriminatif terhadap perempuan?
Keadilan
Dalam Pembagian Warisan Menurut Syadzali
Keadilan tidak harus didefinisikan sebagai membagi
sama banyak kepada semua pihak. Tapi termasuk juga keadilan membagi sesuatu
dengan prinsip keseimbangan. Dalam kasus warisan ini yaitu keseimbangan antara
hak dan kewajiban. Biaya kehidupan yang harus ditanggung laki-laki lebih besar
dibandingkan dengan perempuan. Jika bapaknya meninggal dunia, sekalipun dia belum
menikah tapi sudah dewasa anak laki-laki akan menjadi tanggung jawab biaya
hidup ibu dan saudara-saudara perempuannya yang belum menikah. Apalagi setelah
dia menikah dan punya anak, tanggung
jawab pembiayaan yang harus dipikulnya semakin bertambah. Belum lagi untuk
kebutuhan dirinya sendiri. Bandingkan dengan perempuan yang sepanjang umurnya
secara normative tidak wajib membiayai dirinya sendiri. Sebelum menikah dia
menjadi tanggungan orang tua atau walinya. Setelah menikah menjadi tanggungan
suami.[10]
Dalam beberapa kasus warisan yang sering terjadi
sebenarnya dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah antara seluruh ahli waris
yang berhak mendapat warisan. Apabila di antara ahli waris ada yang kaya raya,
sementara yang lain miskin atau hidup dengan sangat sederhana, maka bisa saja
dengan cara musyawarah yang kaya raya melepaskan haknya sepenuhnya atau
sebagiannya kepada ahli waris lain yang lebih membutuhkan dalam rangka saling
pengertian dan tolong menolong sesama karib kerabat.
Musyawarah dapat dilakukan karena ketentuan pembagian
warisan dalam An-Nisa’ ayat 11 termasuk golongan hukum voluntary law, artinya
hukum yang baru berlaku, jika yang berkepentingan tidak mempergunakan
alternative lain yang tersedia. Alternative yang tersedia itu adalah musyawarah
untuk mencari siapa yang secara suka rela melepaskan haknya.
Apabila tidak ada yang suka rela ingin melepaskan
haknya , barulah harta warisan tersebut dibagi sesuai dengan bagian
masing-masing yang telah ditentukan oleh ayat tersebut. Dengan demikian, pembagian
warisan tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditetapkan dalam surat
An-Nisa’ ayat 11. Pada saat itulah baru hukum waris bersifat compulsory law,
artinya hikum yang mutlak berlaku.[11]
Demikianlah dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ayat-ayat
tentang kewarisan tidaklah bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Ketentuan tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai bukti inferioritas perempuan
dibandingkan laki-laki. Namun demikian, kesetaraan tidak berarti semua harus
persis sama dalam aspek hukum. Karena factor-faktor perbedaan fungsi, status
sosian ekonomi, hak dan kewajiban menjadi pertimbangan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Warisan adalah harta yang
ditinggalkan mayit untuk ahli warisnya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Segala Sesuatu yang telah ia
tetapkan adalah yang seadil-adilnya bagi setiap makhluknya. Keadilan tidak harus didefinisikan sebagai membagi
sama banyak kepada semua pihak. Tapi termasuk juga keadilan membagi sesuatu
dengan prinsip keseimbangan, karna adil tak harus sama. Dalam kasus warisan
ini, kaum laki-laki mendapat lebih banyak harta warisan dikarenakan memiliki
beberapa tanggung jawab yang telah disebutkan di atas tadi, sesuai kewajiban
dan hak masing-masing.
B.
Saran
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari apa yang telah
kita bahas bersama, tentang bagian warisan. Agar senantiasa kita semua menjadi
insan yang selalu menjaga dan mengutamakan keadilan dan keseimbangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad
Ali As-Shabuni, Tafsir Ayatul Ahkam
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an, Labda
Press: Yogyakarta, 2006
Yunahar Ilyas, Fenimisme Dalam Kajian
afsir Al-Qur’an, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1997
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan
Jender, Paramadina: Jakarta, 2001
[2] يقول الله (يوصيكم الله فى أولادكم) أى يعهد إليكم فى ميراث أولادكم وهذا إجمال بيانه مابعده
(للذكر مثل حظ الأنثيين) الخ أى إذا مات الميت وترك أولادا ذكورا وإناثا فللذكر
مثل حظ الانثيين فيكون حظ الذكر ضعف حظ المرأة وإن كن نساء فوق اثنتين أى وإن كان
المتروكات نساء فوق اثنتين فلهن الثلثان وإن كانت واحدة أى وإن كانت واحدة أى وإن
كانت المتروكة واحدة فلها النصف
[3] بنت الواحدة وأعطا هما النصف ووجهه
انالله تعالى قال: (فإن كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ماترك) فجعل الثلثين للنساء إذا
كن فوق اثنتين فلا نعطيهما إذا كانتا اثنتين الثلثين
[4] ولأبويه لكل واحد منهما السدس مما ترك إن
كان له ولد فإن لم يكن له ولد ورثه أبواه فلأمه الثلث فإن كان له إخوة فلأمه السدس
[6] ذلك يعلم الباحث أن الشريعة الإسلامية جاءت والعرب تظلم النساء ولا تعطيهن
من ميراث أزواجهن و ابأهن. شيأ بدعوى أنهن لا يقاتلن العدر ولا يحزن الغنيمة فقررت
الشريعة بهذه الأية لهن حقا فى الميراث و كبر ذلك على العرب فكانوا يودون أن ينسخ ذلك
الحكم أو ينسى لما أنه كان يخالف ما ألفوه،
[10] Yunahar Ilyas, Fenimisme
Dalam Kajian afsir Al-Qur’an, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1997, hal:136
Min mau nanya gimana istinbat ayat للذكر مثل حظ الانثيين pdhl ayat gak menyebut asobah bil ghoir disana
BalasHapus