THAHARAH DAN
PERMASALAHANNYA
Makalah
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah: Fiqih Ibadah
Dosen
pengampu: Sanusi, M.Pd.I
1.
Nur Maliya Farkhanah (1410110044)
2.
Muhammad Amrul Hakim (1410110045)
3.
Ristiana Nisa’ (1410110074)
Kelas: B-PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
TAHUN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum
Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Dengan
adanya hukum, perilaku kehidupan kaum muslimin secara keseluruhan dapat diatur
denan terstruktur. Oleh karena itu, kaum muslimin dalam menjalani kehidupan
sehari-hari tidak akan pernah lepas dari hukum Islam. Salah satunya yaitu dalam
konteks bersuci (tahaharah). Thaharah atau mensucikan badan dari najis hukumnya
menjadi wajib karena menjadi suatu keharusan. Misalnya dalam melakukan sebuah
ibadah kepada Allah, kaum muslimin harus bersih dari segala najis, sedangkan
manusia itu sendiri tidak pernah lepas dari yang namanya najis (kotoran).
Apabila
kaum muslimin tidak bersuci terlebih dahulu ketika akan melakuakan suatu
ibadah, maka segala ibadah yang dilakukan akan sia-sia bahkan mendapat dosa
dari Allah SWT. Meskipun bersuci terlihat sederhana dalam praktiknya, namun
menjadi keliru atau menimbulkan madharat apabila dalam bersuci tidak memakai
tata cara bersuci denan baik dan benar yang sesuai dengan ketentuan yang telah
ditentukan oleh syariat Islam.
Maka dari itu, dalam makalah kali ini akan
membahas tentang bagaimana cara bersuci dengan baik dan benar yang sesuai
dengan syariat agama Islam yan telah disyariatkan sebelumnya. Serta menjelaskan
beberapa hal yang menjadikan kaum muslimin diharuskan untuk melakukan bersuci
(thaharah).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengeertian thaharah?
2.
Bagaimana hukum thaharah?
3.
Apa saja alat-alat untuk thaharah (bersuci) ?
4.
Apa saja barang-barang yang termasuk kategori najis?
5.
Bagaimana cara membersihkan najis?
6.
Apa saja macam-macam thaharah?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan pengertian thaharah
2.
Menjelaskan hukum thaharah
3.
Menerankan secara rinci alat-alat yang digunakan untuk thaharah
4.
Menyebutkan dan menjelaskan barang-barang yang dikategorikan najis
5.
Menjelaskan tata cara membersihkan najis
6.
Menyebutkan dan menjelaskan macam-macam thaharah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Thaharah
Kata thaharah bersal dari bahasa Arab اَلطَهَارُ yang secara bahasa artinya
kebersihan atau bersuci. Menurut
syara’ ialah suci dari hadats atau najis, dengan cara yang telah ditentukan
oleh syara’ atau menghilangkan najasah, mandi, dan tayamum. Hakikat thaharah
ialah memakai air atau tanah atau salah satunya menurut sifat yang
disyariatkan, untuk menghilangkan najasah dan hadats.
Bersuci
itu dibagi dua : lahir dan batin. Bersuci batin ialah mensucikan diri dari dosa
dan maksiat dari kotoran kemusyrikan, keraguan dan kebencian, dengki, curang,
tipuan, takabur, riya’. Caranya dengan bertindak ikhlas, yakin, cinta
kebajikan, benar, tawadhu, hanya menghendaki kerelaan Allah, bagi setiap
perbuatan.
Kebersihan
lahir ialah bersih dari kotoran dan hadats. Kebersiha kotoran cara
menghilangkan dengan menghilangkan kotoran itu pada tempat ibadah, pakaian yag
dipakai, dan pada badan seseorang. Sedang kebersihan dari hadats dilakukan
dengan mengambil air wudhu atau mandi.
B.
Hukum Thaharah
Bersuci hukumnya wajib, berdasar firman dan sunnah
Nabi Saw. Adapun firman Allah ialah surat al-Baqarah ayat 222:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: ”Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.”
Dan surat al-Maidah ayat 6:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya: “Dan
jika kamu junub maka mandilah.”
Dan surat al-Muddatstsir ayat 4:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Artinya: “Dan
pakaianmu bersihkanlah.”
النظافة من الايمان (رواه مسلم)
Artinya : “Kebersihan itu adalah sebagian dari iman.”(HR.Muslim)
C.
Alat bersuci
Alat bersuci ialah air, berdasar firman Allah, QS.
al-Anfal ayat 11:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
Artinya: “Dan
Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.”
Dan QS. al-Furqan ayat 48:
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
Artinya: “Dan kami turunkan air dari langit yang
sangat bersih.”
Air pada umumnya dibagi menjadi empat:
1.
Air mutlaq
Hukumnya suci dan dapat untuk bersuci, artinya airnya
sendiri bersetatus suci, dan dapat untuk bersuci, seperti untuk wudhu, mandi,
dan membersihkan najis. Yang termasuk air mutlaq ialah :
a.
Air hujan
Sesuai firman
Allah dalam QS. al-Furqan ayat 48, yang artinya:
“Dan kami turunkan dari langit air yang sangat
bersih.”
b.
Air salju dan air es
Hadits Nabi Saw
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang artinya:
“Rasulullah dahulu, apabila telah membaca takbir, diam
sebentar, sebelum membaca fatihah, maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, demi
ayah, engkau dan ibuku, adakah engkau mengetahui apakah yang engkau baca dikala
diammu, di antara takbiratul ihram dan membaca fatihah?” Sabda Nabi: Aku
berkata: “Ya Allah, jauhkanlah jarak antaraku dengan kesalahanku sebagaimana
engkau menjauhkan antara barat dan timur, ya Allah bersihkanlah kami dari
kesalahan seperti membersihkan pakaian dari kotoran, ya Allah cucilah kami dari
kesalahan kami dengan air salju dan air es.” (HR. Jama’ah kecuali At-Tirmidzi).
c.
Air laut
Sabda Nabi Saw
oleh Abu Hurairah, yang artinya:
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah dengan
katanya: “Wahai Rasulullah, kami berkendaraan di laut dan kami hanya membawa
sedikit air apabila kami wudhu dengan air itu, kami akan kehausan, apakah boleh
berwudhu dengan air laut?” Maka Rasulullah menjawab: “Laut itu airnya suci
bangkainyapun halal”. (HR. Khomsah).
d.
Air Zamzam
Hadits yang
diriwayatkan oleh Sayidina Ali r.a, yang artinya:
“Bahwasanya Rasulullah Saw minta diambilkan air satu
ember penuh dari air zamzam lantas Nabi minum dan berwudhu dengan air
tersebut.” (HR. Ahmad).
2.
Air Musta’mal
Air sisa yang mengena badan manusia karena telah
digunakan untuk wudhu dan mandi, disebut air musta’mal. Hukum air musta’mal
sama dengan air mutlaq, yaitu suci dan mensucikan. Sesuai sabda Nabi Saw oleh
imam Ahmad Tirmidzi dalam lafadz Abu Daud, yang artinya:“Sesungguhnya Rasulullah Saw mengusap kepalanya dengan sisa air wudhu yang ada dalam kedua tangannya.”
3.
Air yang bercampur dengan barang yang suci
Air yang bercampur dengan barang yang suci, seperti
air sabun, atau air seperma. Hukumnya suci selama air itu terjaga
kemutlakannya, sehingga tidak merubah nama itu bukan air mutlaq lagi. Air yang
sedikit bercampur dengan barang yang suci seperti sabun tadi dan tidak berubah
statusnya, hukumnya suci dan mensucikan, tetapi kalau campurannya banyak
sehingga bukan air mutlaq lagi bahkan air sabun umpamanya, maka hukumya suci tapi
tidak mensucikan.
4.
Air sisa yang diminum oleh hewan
Binatang
yang tidak haus seperti himar dan kucing, maka airnya tidak najis. Seperti
sabda Nabi Saw, yang artinya: “Apakah
engkau berwudhu dengan air sisa himar?” dijawab: “ya, dan dengan air sisa semua
binatang buas.”
D.
Barang-barang yang najis
Barang-barang
yang ada disekitar kita, tidak semuanya suci. Namun, ada beberapa di antaranya
yang dihukumi najis dalam syari’at. Barang ini perlu diketahui kenajisannya
agar tidak salah dalam menggunakannya, dan bisa mengenal cara membersihkannya. Najis bisa mempengaruhi sahnya shalat
seseorang. Jika ia bernajis, maka harus dihilangkan najis yang melekat
di baju atau badan. Jika najis keluar dari dubur harus beristinja’
darinya.
Para ahli
ilmu atau ulama’ telah mengadakan tahqiq (pemeriksaan) terhadap
barang-barang yang ada disekitar kita, ternyata barang-barang najis lebih dari
satu, di antaranya :
1.
Tinja Manusia (kotoran manusia)
Kotoran yang
keluar dari tubuh seorang manusia melalui duburnya. Kotoran ini harus
dibersihkan dengan cara istinja’ (cebok). Jika mengenai sandal atau
sepatu, maka dibersihkan.
2.
Kencing
Manusia
Kencing
manusia atau hewan yang termasuk barang-barang najis yang harus dibersihkan
oleh seseorang.
Anas r.a berkata,
أنَّ
أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
دَعُوْهُ وَلاَ تُزْرِمُوْهُ قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ
مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ
“Ada seorang Arab Badui pernah
kencing di masjid, maka sebagian orangpun bangkit dan menuju kepadanya. Lalu Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Biarkan (ia kencing), janganlah
kalian memotongnya”.
Anas berkata, “Tatkala orang itu
selesai kencing, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta seember air,
lalu menuangkannya pada kencing tersebut. {HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (6025) dan Muslim dalam
Shahih-nya (284)}.
3.
Madzi, dan
Wadi
Madzi adalah
cairan yang keluar dari manusia ketika syahwatnya memuncak. Sedangkan wadi adalah
cairan najis yang keluar dari kemaluan seseorang ketika ia buang air, karena
mengalami sakit, atau lelah, tanpa disertai oleh syahwat.
Adapun keluarnya madzi ini menyebabkan seseorang harus
bersuci, karena madzi adalah najis seperti halnya dengan kencing yang
keluar dari kemaluan manusia.
4.
Darah Haid
Darah haid
merupakan barang najis yang harus dibersihkan dari badan atau pakaian kita yang
terkena, utamanya ketika hendak melakukan ibadah di saat darah haidh terputus,
atau saat ingin berhubungan dengan suami.
5.
Kotoran
Binatang yang Tidak Dimakan Dagingnya
Binatang yang tidak dimakan dagingnya, seperti;
anjing, kucing, babi, monyet, dan lain-lain, maka kotoran (tahi) dan kencingnya
merupakan najis.
Abdullah berkata, “Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- ingin buang air, lalu berkata, “Berikan aku tiga
buah batu”. Kemudian aku dapatkan dua buah batu dan kotoran (tahi) himar, maka
beliau mengambil dua buah batu tersebut dan membuang kotoran (tahi) seraya
bersabda,
هِيَ رِجْسٌ
“Dia (kotoran) ini najis”. {HR.
Al-Bukhari dalam Shahih-nya(155)}
6. Anjing, Liurnya, dan Sisa Minumannya.
Di antara
barang-barang najis adalah anjing, liurnyan dan sisa minumannya. Kenajisannya
telah dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam
sabdanya:
طُهُوْرُ
إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ
مَرَّاتٍ أُوْلَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara
menyucikan bejana salah seorang di antara kalian yang dijilat anjing, dicuci
sebanyak tujuh kali, awalnya dengan tanah”.{[HR. Muslim dalam Shahih-nya (279)}.[1]
7. Bangkai
Bangkai
adalah hewan yang mati secara tidak wajar, tanpa melalui penyembelihan yang
syar’i, seperti dicekik, dipukul, disetrum, dijepit, atau ditabrak. Bangkai
merupakan najis, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دُبْغَ
اْلإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Apabila
kulit bangkai disamak, maka ia sungguh telah suci”. {HR. Muslim
dalam Shahih-nya (366)
dan Abu Dawud dalam Sunan-nya
(4105)}
E.
Klasifikasi
najis dan cara mensucikannya
Najis (Najasah)
menurut bahasa artinya adalah kotoran. Dan menurut Syara’ artinya adalah
sesuatu yang bisa mempengaruhi Sahnya Sholat. Seperti air kencing dan najis - najis
lain sebagainya.
Najis itu dapat dibagi menjadi Tiga Bagian:
Najis itu dapat dibagi menjadi Tiga Bagian:
1. Najis Mughollazoh
Yaitu
Najis yang berat. Yakni Najis yang timbul dari Najis Anjing dan Babi. Babi
adalah binatang najis berdasarkan al-Qur`an dan Ijma’ para sahabat Nabi
(Ijma’ush Shahabat) (Prof Ali Raghib, Ahkamush Shalat, hal. 33).
Jika binatang itu
termasuk jenis yang najis (babi dan juga anjing), maka semua bagian tubuhnya
adalah najis, tidak peduli apakah dalam keadaan hidup atau mati. Babi adalah
najis pada zatnya dan babi tidak dapat menjadi suci jika disamak.
Cara mensucikannya ialah
harus terlebih dahulu dihilangkan wujud benda Najis tersebut. Kemudian baru
dicuci bersih dengan air sampai 7 kali dan permulaan atau penghabisannya diantara
pencucian itu wajib dicuci dengan air yang bercampur dengan Tanah (disamak).
2. Najis
Mukhofafah.
Ialah
najis yang ringan, seperti air kencing anak laki-laki yang usianya kurang dari
dua tahun dan belum makan apa-apa, selain air susu ibunya.
Cara
membersihkannya, cukup dengan memercikkan air bersih pada benda yang terkena
Najis tersebut sampai bersih betul.
3. Najis Mutawassithah ( مُـــتــــوَ سِّــطَــــةْ )
Ialah najis yang sedang, yaitu kotoran manusia atau hewan, seperti air kencing, nanah, darah, bangkai, minuman keras ; arak, anggur, tuak dan sebagainya (selain dari bangkai ikan, belalang, dan mayat manusia).
Ialah najis yang sedang, yaitu kotoran manusia atau hewan, seperti air kencing, nanah, darah, bangkai, minuman keras ; arak, anggur, tuak dan sebagainya (selain dari bangkai ikan, belalang, dan mayat manusia).
F.
Macam-Macam Thaharah
1. Wudhu
Wudhu adalah cara untuk bersuci dari
hadas kecil agar seseorang bisa melaksanakan shalat. Rasulullah saw bersabda:
لَايُقْبَلُ اللهُ الصَلَاةَ مَنْ
اَحْدَثَ حَتَى يَتَوَضَاء
Artinya: “Allah tidak akan menerima
shalat orang yang masih berhadas sehingga ia berwudhu.”(HR. Bukhari, muslim dan
lainnya).
Cara berwudhu telah digambarkan oleh
allah di dalam al-Quran, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basulah wajah dan tangan kalian
sampai siku, dan usaplah kepala kalian dan basulah kaki kalian sampai kedua
mata kaki.” (QS. Al-Maidah:6).
2.
Menyapu Sepatu Atas Dua Sepatu
Banyak keterangan menyatakan, bahwa
Nabi menyapu atas dua sepatu, baik di kampong ataupun dalam safar. Beliau
menyapu belakang sepatunya. Tak ada keterangan bahwa dia menyapu bawah
sepatunya. Dalam menyapu kepala terkadang beliau mencukupi dengan menyapu
sorbannya saja.
Ringkasannya, jika beliau bersepau
beliau menyapu saja atasnya, tidak membukanya. Jika beliau tidak bersepatu,
beliau membasuh kakinya.
3. Tayammum
Nabi Muhammad
bertayamum dengan sekali tepuk untuk mukadan kedua telapak tangan. Tak ada
keterangan yang shahih mengatakan bahwa Nabi menepuk dua kali dan menyapu
hingga siku. Beliau bertayammum dengan tanah atau pasir yang di atasnya beliau
bersembahyang.
4.
Mandi
Apabila seseorang sedang berhadas besar, maka
yang wajib ia lakukan adalah mandi wajib.
Agar ia kembali suci seperti semula dan dapat melakukan ibadah yang ditntut
harus dalam keadaan suci, seperti shalat.
Cara mandi wajib yang paling sederhana,
atau hanya melakukan hal yang wajib
saja, maka ada dua hal yang dilakukan. Pertama, niat. Dan kemudian mengguyur
sekujur tubuh dengan air yang suci dan menyucikan secara merata.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Bersuci
merupakan persyaratan dari beberapa macam ibadah, karena itu bersuci memperoleh
tempat yang utama dalam ajaran Islam. Berbagai aturan dan hukum ditetapkan oleh
syara dengan maksud antara lain agar manusia menjadi suci dan bersih baik lahir
maupun batin.
Kesucian dan kebersihan lahir dan batin merupakan pangkal keindahan dan kesehatan. Oleh karena itu hubungan kesucian dan kebersihan dengan keindahan dan kesehatan erat sekali. Pokok dari ajaran Islam tentang pengaturan hidup bersih, suci dan sehat bertujuan agar setiap muslim dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai khalifah di muka bumi.
Kebersihan dan kesucian lahir dan batin merupakan hal yang utama dan terpuji dalam ajaran Islam, karena dengan kesucian an kebersihan dapat meningkatkan derajat harkat dan martabat manusia di hadirat Allah SWT.
Kesucian dan kebersihan lahir dan batin merupakan pangkal keindahan dan kesehatan. Oleh karena itu hubungan kesucian dan kebersihan dengan keindahan dan kesehatan erat sekali. Pokok dari ajaran Islam tentang pengaturan hidup bersih, suci dan sehat bertujuan agar setiap muslim dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai khalifah di muka bumi.
Kebersihan dan kesucian lahir dan batin merupakan hal yang utama dan terpuji dalam ajaran Islam, karena dengan kesucian an kebersihan dapat meningkatkan derajat harkat dan martabat manusia di hadirat Allah SWT.
B.
Saran
Semoga kita
dapat mengambil hikmah dari apa yang telah kita bahas bersama, tentang
thaharah. Agar senantiasa kita semua menjadi insan yang selalu menjaga dan
mengutamakan kebersihan. Karena kebersihan adalah bagian dari iman.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan Hadits.
Daradjat, Zakiah. 1995. Ilmu Fiqih Jilid I. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Muhammad, Tengku. 2000. Kuliah Ibadah. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra.
Shalih, Ibrahim, 2011. Fiqih Ibadah. Jakarta: Amzah.
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Wahid, Abdul. Fiqih Ibada. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Yusuf, Qardhawi. 1993. Konsep Ibadah dalam Islam. Surabaya:
Central Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar