Kamis, 31 Maret 2016

Menggapai Ihsan

MENGGAPAI IHSAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Bahsul Kutub
Dosen Pengampu: Moh. In’ami, M.Pd.I

 








Disusun oleh kelompok 7:
1.         Anis Maghfiroh                 (1410110040)
2.         M.Amrul Hakim               (1410110045)
3.         Ristiana Nisa’                    (1410110074)
Kelas: B
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
          JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar  Belakang
Manusia hidup di dunia ini memiliki beranekaragam perilaku yang ditunjukkan, mereka memiliki tingkatan-tingkatan ketaqwaan yang membedakan mereka di hadapan Allah SWT sebagai sang Khaliq. Dari manusia yang memiliki derajat di bawah, hingga manusia-manusia yang memiliki derajat di atas. Manusia yang memiliki derajat di atas inilah yang mampu menjadikan kehidupan dunianya sebagai sarana atau tempat untuk menuju kehidupah akhirat yang kekal dan abadi.
Manusia-manusia seperti itulah yang selalu sadar bahwa setiap tindakan kebaikan yang kita lakukan sekecil apa pun Allah akan tahu, dan akan memberi balasan pahala yang setimpal di masa yang abadi nantinya. Sebaliknya, mereka juga selalu sadar bahwa setiap tindakan keburukan yang kita lakukan sekecil apa pun Allah akan mengetahuinya, dan kelak akan menerima balasan siksa yang setimpal.
Dengan selalu melibatkan dan mengingat Allah di dalam setiap perbuatan yang dilakukan, maka manusia-manusia seperti itu akan senantiasa berhati-hati dalam menjalani hidup ini. Mereka akan memiliki derajat keimanan dan ketaqwaan yang tinggi di hadapan Allah SWT. Karena hati dan fikirannya selalu mengingat Sang Pencipta, sehingga muncullah rasa takut akan siksa Allah saat melakukan larangan-Nya dan meninggalkan perintah-Nya. Mereka akan termotivasi untuk melakukan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya karena tujuan hidunya tak lain dan tak bukan adalah hanya untuk mencari ridho dari allah SWT.
Oleh karena itu, makalah ini menjelaskan arti penting menjadi manusia yang ihsan, bagaimana cara menggapai ihsan agar kita senantiasa menjadi hamba-hamba allah yang lebih baik.


B.            Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ihsan?
2.      Bagaimana cara menggapai ihsan?
3.      Mengapa Iman, Islam, dan Ihsan perlu adanya korelasi?


























BAB II
PEMBAHASAN

A.           Ayat Edukatif
1.        Surat Al-An’am : 160
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلا يُجْزَى إِلا مِثْلَهَا وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ ﴿١٦٠﴾

Artinya:
“Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).”
2.        Surat Adz-Dzariaat : 15-19
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ  ﴿١٥﴾ آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ ﴿١٦﴾ كَانُوا قَلِيلا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ ﴿١۷﴾وَبِالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ ﴿١۸﴾وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ﴿١۹﴾
Artinya:
15.  Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air,
16.  sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik;
17.  Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam;
18.  Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).
19.  Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.
3.      Al-Mulk : 2
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ﴿۲﴾
Artinya:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

B.     Ayat tentang Ihsan (Q.S Al-Qashash: 77)
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ﴿۷۷﴾
Artinya:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Tafsiran Surat Al-Qashash:
1.      Kata fima فِيمَا dipahami oleh Ibnu Asyur menagnadung makna terbanyak pada umumnya, sekaligus melukiskan tertancapnya ke dalam lubuk hati upaya mencari kebahagiaan ukhrawi melalui apa yang dianugerahkan Allah dalam kehidupan dunia ini.[1]
2.      Dalam firmannya وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا merupakan atau mengabaikan bagian seseorang dari kenikmatan duniawi. Larangan itu dipahami oleh sementara ulama bukan dalam arti haram mengabaikannya, tetapi dalam arti mubah (boleh untuk mengambilnya). Dengan demikian, ayat ini merupakan salah satu contoh penggunaan redaksi larangan untuk makna mubah atau boleh. Dengan kalimat ini , menjadi jelas bagi siapapun bahwa seseorang boleh menggunakan hartanya untuk tujuan kenikmatan duniawi selama hak Allah menyangkut harta telah dipenuhinya dan selama penggunaannya tidak melanggar ketentuan Allah SWT.
3.      Kata نَصِيبَ adalah bagian tertentu yang telah ditegakkan sehingga nmenjadi nyata dan jelas bahwa bagian itu adalah hak dan miliknya dan itu tidak dapat dielakkan . harta yang diproleh manusia secara halal dapat digunakannya secara baik dan benar sebagaimana digariskan allah. Dia hanya berkewajiban mengeluarkan bagian yang ditentukan dalam bentuk zakat yang wajib. Selebihnya adalah halal untuk dinikmatinya.
4.      Kata أَحْسِنْ  terambil dari kata hasan yang brerarti baik. Obyek dari kata ini tidak disebut, sehinggga ia mencakup segala sesuatu yang dapat disentuh oleh kebaikan. Kata tersebut mengandung perintah untuk berbuatr kebaikan terhadap lingkungan , harta benda, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia , baik orang lain maupun diri sendiri.
5.      Kata كَمَا pada ayaat diatas dipahami oleh banyak ulama’ dalam arti “disebabkan karena” , yakni karena allah telah melimpahkan aneka karunia, maka seharusnya manusia pun melakukan ihsan dan upaya perbaikan sesuai kemampuaannya .[2]






C.    Pembahsan Tentang Menggapai Ihsan
1.      Pengertian Ihsan
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.[3] Setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebut Ihsan.
Landasan dasar Ihsan antara lain sebagai berikut:
a.    Muraqabatullah, yang merasa selalu dalam pengawasan Allah SWT, mengerjakan sesuatu sebaik-baiknya.
b.    Ihsanullah, yang merasakan kebaikan Allah dalam segala hal.

            Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaa-ah (berbuat buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menahan diri dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada hamba Allah yang lainnya baik melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya, maupun raganya.[4]
Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :
قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »
“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.
2.      Cara Menggapai Ihsan
Derajat ihsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba. Tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah yang khusus saja yang bisa mencapai derajat mulia ini. Oleh karena itu, merupakan keutamaan tersendiri bagi hamba yang mampu meraihnya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk di dalamnya.
Berikut adalah hal-hal yang sebaiknya dikerjakan untuk dapat mencapai dan menuju sikap ihsan:
a.       Persaudaraan atau ukhuwwuah
Semua orang beriman adalah saudara dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita.[5] Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا ﴿١٠۳﴾
Artinya :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.”
b.      Cinta Kasih
Pancaran sifat kasih saying Allah SWT ada pada seluruh makhlik-Nya. Dan dunia ini ada adalah karena kasih sayang Allah. Agar cinta kasih sayang ini menjadi sesuatu hal yang senantiasa ada, maka berkasih sayang dan saling mencintailah hanya karena Allah.
c.       Senyum, Salam, dan Sapa
Senyum untuk saudaramu adalah shodaqoh. Menyebarkan senyum, salam, sapa sesuai dengan dalil hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya:
“Kamu sekalian tidak akan masuk surge kecuali pabila kamu beriman, dan kamu tidak akan beriman sampai kamu saling mencintai. Senagkah kamu sekalian jika aku tunjukkan kepadamu sutu pekerjaan yang apabila kamu mengerjakannya maka kamu sekalian akan saling mencintai, sebarkan salam diantara kamu semua.”
d.      Saling Memaafkan
Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
e.       Peduli terhadap Orang Lain
Rasa peduli dan kehadiran kita bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Dalam hadits riwayat Muslim diterangkan: siapa yang melepaskan penderitaan seseorang mukmin di dunia maka Allah akan melepaskannya dari penderitaan pada hari kiamat. Siapa yang memberikan kemudahan pada orang yang sedang mendapatkan kesulitan, maka Allah memudahkannya di dunia dan di akhirat kelak. Siapa yang menutup aib Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Dan bahwa Allah akan selalu menolong hamba-Nya jika ia mau menolong saudaranya. (HR. Muslim).
f.       Dengan Jalan Tashawuf
1)    Takholi
Takholli artinya mencuci atau mengosongkan.[6] Mencuci dalam dua bidang yaitu dhohir dan batin.
a)        Mencuci dhohir dari segala yang dilarang Allah sebagaimana diatur dalam dalam hukum syara’.
b)        Mencuci bathin meliputi: suci hati dari sifat-sifat hati yang tercela.
c)        Suci sirri, jangan cinta akan lainnya Alloh melebihi cinta kepada Alloh, Rosululloh, daan jihad fi sabilillah.
Jadi ajaran Takholli ini mengandung dua hal penting  yaitu: Mencuci  dhohir atau bathin dan menjaga kesucian dhohir dan bathin.
2)      Tahalli
Tahalli artinya mengisi. Setelah dhohir dan bathin bersih, kemudian diisi dengan sifat-sifat  yang baik, diisi dengan dzikir, diisi dengan segala yang diperintahkan Alloh Ta’ala. Rosululloh SAW bersabda: “Alloh Ta’ala itu memiliki wadah dari ahli bumi, dan wadahnya Tuuhanmu ialah hati hamba-hambanya yang sholeh”  (HR. Thobroni,, dalam Kitab Jamius Shogir/ bab huruf Alif  hal 85).
Jika hati kita ini diperumpamakan seperti wadah yang kosong, maka wadah kosong hati kita itu harus diisi dengan Dzikirulloh, diisi dengan keta’atan kepada Alloh. Maka perjuanagan tahap kedua untuk menggapai ihsan dengan jalan tashawuf  adalah mengisi dhohir dan bathin kita dengan kebaikan-kebaikan, inilah  Tahalli namanya.
3)      Tajalli
Tajalli artinya meresapkan atau menyatukan atau memperdalam atau mendarah-dagingkan kebaikan-kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu meresapkan sedalam-dalamnya sifat yang terpuji itu hingga menjiwai setiap gerak hidup kita, yang pada akhirnya perangai baik itu terwujud dalam pergaulan kita di masyarakat. Artinya, setelah dicuci (Takholli) dan setelah diisi (Tahalli) maka kemudian harus diuji (Tajalli).
Hasil dari penyucian dan pengisian itu diuji atau dibuktikan dalam pergaulan di masyarakat dengan amal-amal yang bermanfaat. Jadi setelah proses keimanan kemudian  berlanjut pada proses kemanusiaan. Demikianlah eratnya hubungan antara soal  keimanan  dan soal kemanusiaan, dengan kata lain manuggalnya keimanan dan kemanusiaan. Itulah kunci untuk meraih ihsan yang sesunggunya dalam pandangan tashawuf.

3.      Korelasi antara Iman, Islam, dan Ihsan
Iman, Islam ,dan Ihsan adalah satu kestauan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah keyakina yang menjadi dasar aqidah , keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah.[7]
Untuk mempelajari ketiga pokok ajaran agama tersebut, para ulama mengelompokkannya lewat 3 cabang ilmu pengetahuan.[8] Rukun Islam berupa praktek amal lahiriyah disusun dalam ilmu fiqih, yaitu ilmu mengenai perbuatan amal lahiriyah manusia sebagai hamba Allah. Iman dipelajari melalui ilmu tauhid (Teologi) yang menjelaskan tentang pokok-pokok keyakinan. Sedangkan untuk mempelajairi Ihsan sebagai tata cara beribadah adalah bagian dari ilmu tasawuf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain.

D.    Hadits Terkait
Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah :
1.    potongan hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab:
قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ «
Artinya: “Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102).[3]
Dalam hadits Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini memiliki satu rukun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan mengenai ihsan yaitu ‘Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, Allah akan melihatmu.’ Itulah pengertian ihsan dan rukunnya.
2.      Ihsan dapat meliputi segala urusan dan menjangkau segala amal dan perbuatan. Bersabda rasulullah SAW:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحِسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْاالذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
Artinya: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berihsan pada segala Sesutu. Jika kamu membunuh, bunuhlah sebaik-baiknya, dan jika kamu menyembelih binatang, sembelihlah sebaik-baiknya dengan mengasah pisaumu setajam mungkin agar ringan penderitaan kurbanmu”.
Yakni ihsan dituntut agar dilakukannya di segala bidang, sampai-sampai jika hendak menyembelih binatang, hendaklah dilakukan sebaik-baiknya dengan jalan mengasah pisau setajam mungkin agar mengurangi penderitaan si binatang kurban. Allah tidak menciptakan manusia dan membekalinya dengan kekuatan fisik dan mental, melainkan untuk bergiat bekerja dan berprestasi melakukan amal-amal raksasa yang besar-besar yang berguna bagi umat manusia. Jika ia tidak dapat melakukan dan menciptakan itu, maka ia telah mengingkari dan menyia-nyiakan nikamt dan karunia Allah. Berfirmanlah Allah SWT:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ﴿۲﴾
Artinya:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”










BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
 Ihsan ialah melaksanakan ibadah dengan sepenuh hati karena menyadari bahwa Allah selalu melihatnya, hingga ia merasakan berhadapan langsung dengan Allah dan bahkan ia melihat Allah SWT. dengan hati nurani. Semua itu dilakukannya dengan ikhlas. Derajat ihsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba. Tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah yang khusus saja yang bisa mencapai derajat mulia ini. Oleh karena itu, merupakan keutamaan tersendiri bagi hamba yang mampu meraihnya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk di dalamnya.
Berikut adalah hal-hal yang sebaiknya dikerjakan untuk dapat mencapai dan menuju sikap ihsan:
1.      Persaudaraan atau ukhuwwuah
2.      Cinta Kasih
3.      Senyum, Salam, dan Sapa
4.     Saling Memaafkan
5.      Peduli terhadap Orang lain
Iman, Islam ,dan Ihsan adalah satu kestauan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah keyakina yang menjadi dasar aqidah , keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah.








DAFTAR PUSTAKA


Al Qur’an Terjemahan
Kamus Besar Bahasa Arab
Kamus Besar Bahasa Indonesia
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Lentera Hati: Jakarta. 2006.
Jalaluddin As-Suyuthi Dan Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally, Pustaka Al-Hidayah: Tasikmalaya. 2008
Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar.  PAnji MAsyarakat. 
Sayid Sabiq, Islam Dipandang dari Segi Rohani-Moral-Sosial, Rineka Cipta:
Misa Abdu, Menjernihkan batin dengan Shalat Khusyu’, Mitra Pustaka: Yogyakarta, 2006.
Muhammad Muhtar Mu’thi. Rumusan Guru Sufi. Jombang: Al-Kautsar. 2013.
Asmaran AS, Pengantar Study Tauhid, Rajawali Prees: Jakarta, 1992.
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Terjemahan) H. Firdaus, Jakarta : Bulan Bintang, 1976, hlm.257
Ahmad Faried. Menyucikan Jiwa. Surabaya:Risalah Gusti. 1999.









    


[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Lentera Hati: Jakarta. 2006. Hal:406
[2] Ibid. M.Quraisy Shihab. Hlm: 410
[3] Misa Abdu, Menjernihkan batin dengan Shalat Khusyu’, Mitra Pustaka: Yogyakarta, 2006. Hlm: 56

[4] Op.cit, Hlm:411
[5] Asmaran AS, Pengantar Study Tauhid, Rajawali Prees: Jakarta, 1992, hlm.84

[6] Misa Abdu, Menjernihkan batin dengan Shalat Khusyu’, Mitra Pustaka: Yogyakarta, 2006. Hlm: 76
[7] Muhammad Muhtar Mu’thi. Rumusan Guru Sufi. Jombang: Al-Kautsar. 2013. Hlm: 23
[8] Ibid. Hlm: 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar