Pemikiran
Dr. Yusuf Qardhawi tentang Ijtihad Kontemporer
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen
Pengampu: H. Ahmad Hamdani, Lc, MA
Disusun Oleh:
Niswatul Insiyyah 1410110048
Laili Fitriyatul Ula 1410110063
Ristiana Nisa’ 1410110074
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2016
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan dunia yang
semakin maju disertai dengan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti
medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk
persoalan-persoalan hukum. Masyarakat
Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat
melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu
persoalan.
Persoalan-persoalan baru
yang status hukumnya sudah jelas dan tegas yang dinyatakan secara eksplisit
dalam Alquran dan hadis, tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat
Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang belum jelas status
hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para ulama untuk memberi solusi dan
jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Di
sinilah letak strategisnya posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan
‘social engineering’. Dalam makalah ini penulis mencoba menyajikan pemikiran
Dr. Yūsuf al-Qaradhāwī tentang ijtihad dalam kaitannya dengan hukum Islam dan
perubahan sosial
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
biografi Dr. Yusuf Qardhawi?
2.
Bagaimana pengertian, ruang lingkup, dan urgensi ijtihad
menurut Dr. Yusuf Qardhaawi?
3.
Apa
metode ijtihad yang digunakan Dr. Yusuf
Qardhawi?
4.
Bagaimana
interaksi dengan al-Qur’an dan Sunnah menurut Yusuf Qardhawi?
5.
Bagaimana
implementasi metode ijtihad menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam menetapkan hukum?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Dr. Yusuf Qardhawi
Nama lengkapnya adalah Yusuf Abdullah
al-Qaradhawi.[1] Ia lahir pada tanggal 9 September 1926 di desa Shaftu Turab Mesir, dari
kalangan keluarga yang taat beragama dan hidup sederhana. Ia menjadi anak yatim
ketika berusia dua tahun yang kemudian diasuh oleh pamannya yang sangat
memperhatikan pendidikan.[2]
Ketika berusia lima tahun, ia bersekolah di lembaga pendidikan al-Quran
“al-Quttab” di desanya. Kemudian saat berusia sepuluh tahun, ia belajar pada
sekolah “al-Ilzamiyah”. Pada usia sepuluh tahun, ia telah hafal al-Quran dan
menguasai ilmu tilawah. Kemahirannya dalam bidang qira’ah dan tilawah Al-Qur’an
serta kemerduan suaranyalah yang menjadikannya diusia relatif muda sudah
dipanggil dengan sebutan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi. Sejak saat itu, al-Qardhawi
kecil sering diangkat menjadi imam oleh penduduk desanya.[3]
Pendidikan Ibtida’iyah dan Tsanawiyah
ditempuh di Ma’had Thantha Mesir.[4] Yusuf al-Qardhawi melanjutkan studinya di Perguruan
Tinggi Universitas al-Azhar, Kairo dan mendapatkan syahadah ‘aliyah
(1952-1953). Yusuf al-Qardhawi juga melanjutkan studinya di Program
Pascasarjana (Dirasah al-‘Ulya), Universitas al-Azhar Kairo dengan
mengambil jurusan Tafsir Hadis. Selanjutnya Qardhawi berhasil menyelesaikan
pendidikannya pada program Magisternya dan berhasil memperoleh predikat cumlaude.[5] Yusuf al-Qaradhawi melanjutkan lagi pada
tingkat doctoral dengan menulis disertasi berjudul al-Zakah wa Atsaruha fi
Halli al-Masyakil al-Ijtima’iyyah (Zakat dan Pengaruhnya dalam Memecahkan
Problematika Sosial).
Sebagai seorang ulama kontemporer dan
penulis yang produktif, Yusuf al-Qaradhawi telah menyusun berbagai karya ilmiah
di bidang keilmuan Islam. Karya-karyanya ada yang berbentuk buku, dan ada juga
yang berbentuk artikel.
B.
Pengertian dan Urgensi Ijtihad Menurut Dr. Yusuf Qardhawi
1. Pengertian
Ijtihad
Sebelum
mengemukakan tentang metode ijtihad Yusuf al-Qardhawi lebih lanjut, terlebih
dahulu akan dikemukakan definisi ijtihad itu sendiri. Dalam hal ini, terdapat
berbagai macam rumusan yang dikemukakan ulama berkaitan tentang ijtihad, namun
al-Qardhawi tidak membuat definisi sendiri. Akan tetapi, ia lebih memilih
definisi ijtihad yang dikemukakan oleh Imam al-Syaukani (w. 1255 H) dalam
kitabnya “Irsyad al-Fuhul” setelah membandingkannya dengan definisi yang
dikemukakan al-Amidi (w. 631 H) dalam kitabnya “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam”.
Definisi ijtihad yang dikemukan al-Syaukani sebagai berikut:
بذل الوسع فى نيل حكم شرعي عملي بطريقة الإستنباط
“Mencurakan
seluruh kemampuan guna menemukan hukum syari’at yang bersifat praktis dengan
cara mengambil kesimpulan hukum”
Sedangkan menurut al-Amidi, definisi
ijtihad sebagai berikut:
إستفراغ الوسع في طلب الظن بشيء من الأحكام الشرعية على وجه يحس من
النفس العجز عن علية
“Mencurakan
seluruh kemampuan untuk mencari hukum syari’at yang bersifat zhanni, sampai
dirinya tidak merasa mampu lagi mencari tambahan kemampuannya tersebut”.
Terhadap
kedua definisi tersebut, al-Qardhawi mengatakan bahwa sebenarnya sudah cukup
memadai, meskipun tanpa megungkapkan kata “إستفراغ الوسع “ (mengerahkan seluruh
kemampuan). Sebab menurutnya, seorang mukallaf tidak dibebani kecuali
sesuai kemampuannya, seperti diterangkan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 286
: لاَ يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا (Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya). Penambahan kalimat “إستفراغ الوسع” dalam definisi tersebut, menekankan adanya
usaha maksimal dari mujtahid, sehingga ketika ia melakukan ijtihad tidak
mungkin berpikir lebih dari apa yang ia hasilkan. Hal ini, bertujuan untuk
menutup kemungkinan terjadinya ijtihad secara tergesa-gesa, sehingga tersalah
dalam mengambil ketetapan hukum, berpikir seenaknya tanpa memeras segenap
kemampuannya terlebih dahulu, teruatama dalam meneliti dalil-dalilnya, memahami
secara mendalam dan mengambil konklusi dari dalil-dalil tersebut serta
membandingkannya dengan dalil-dalil lain yang secara sepintas kelihatan
bertentangan.[6]
Dengan
demikian, ijtihad yang diserukan al-Qardhawi memberikan kemudahan dan
kehati-hatian kepada orang-orang yang berkompeten (qualified) untuk
mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan hukum
Islam berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
Menurutnya,
ijtihad merupakan suatu hal yang mendapat legitimasi dalam Islam, karena itu
peluang ulama untuk berijtihad saat ini merupakan suatu keharusan dan hukumnya fardu
kifayah, guna menentukan suatu hukum dalam konteks global dan dinamis.
2. Urgensi
Ijtihad
Pada masa
sekarang, al-Qardhawi menawarkan dua lapangan ijtihad kontemporer yang perlu
mendapat perhatian kalangan pakar hukum Islam untuk mengkajinya lebih jauh.
a) Bidang Hubungan Keuangan dan Ekonomi
Dunia bisnis
modern mengenal berbagai bentuk transaksi dan perseroan. Sebagai contoh,
perserikatan bisnis modern dengan berbagai bentuknya seperti asosiasi saham dan
perseroan terbatas lainnya. Demikian juga asuransi yang beraneka ragam, seperti
asuransi jiwa, asuransi harta benda dan sebagainya.
Sebenarnya
cara penyelesaian terbaik terhadap bentuk-bentuk muamalat dan perseroan baru
tersebut ialah dengan dibahas secara serius dan dikaji secara teliti. Dengan
demikian, diharapkan para pakar fikih dapat mencurahkan segala potensi yang ada
untuk mendapatkan ketetapan hukum berdasarkan dalil-dalil syara’.
b) Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kedokteran
Ilmu
pengetahuan modern dan dengan segala hasil temuannya yang canggih serta
kemajuan teknologi yang demikian pesat ditambah potensi yang dimiliki manusia
akan menimbulkan berbagai macam problem baru. Dimana kita dituntut menemukan
alternatif pemecahan dan penyelesaiannya menurut hukum Islam. Sekaligus
menuntut seorang mujtahid kontemporer agar mencurahkan segenap kemampuan dan
potensinya untuk menggali hukum yang sesuai dan relevan dengan
persoalan-persoalan tersebut.
C.
Metode Ijtihad Dr. Yusuf Qardhawi
1.
Ijtihad Tarjihi Intiqa’i
Menurut Yusuf Qardhawi, ijtihad tarjihi intiqa’i adalah ijtihad
yang dilakukan dengan memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat yang
terdapat pada warisan fikih Islam yang sarat dengan fatwa dan keputusan hukum
karena pendapat tersebut dinilai lebih kuat dari pendapat-pendapat yang lain.
Metode ini berbeda dengan sikap taklid, yakni berpegang kepada
pendapat tertentu tanpa meneliti dalilnya. Maksud dari metode ini adalah
mengadakan studi perbandingan terhadap berbagai pendapat dengan meneliti
kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang mendasari pendapat
tersebut, sehingga pada akhirnya dapat dipilih pendapat yang terkuat dalilnya
dengan berpatokan pada kaidah-kaidah tertentu yang antara lain adalah
kesesuaiannya dengan kehidupan zaman sekarang, lebih bersemangat kemanusiaan,
lebih mendekati kemudahan yang ditetapkan hukum Islam, lebih dekat kepada
perwujudan maqasid al-syari'ah, kemashlahatan manusia dan mencegah
mafsadat.
Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli tarjih pada masa
kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan kegiatan tarjih pada masa
kemunduran hukum Islam. Pada masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih
diartikan sebagai kegiatan yang tugas pokoknya adalah menyeleksi pendapat para
ahli fikih di lingkungan intern madzhab tertentu, seperti syafi’iyah, malikiyah,
dll. Sedangkan pada periode kebangkitan Islam, tarjih berarti menyeleksi
berbagai pendapat dari bermacam madzhab, baik beraliran sunni atau tidak. Jadi,
sifatnya lintas madzhab.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari ijtihad
tarjih ini. Sedikitnya menurut Qardhawi ada tiga hal, yakni perubahan sosial
politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan adanya desakan
dari perkembangan zaman.
2.
Ijtihad Insya’i
Menurut Yusuf Qardhawi, ijtihad Insya’i adalah pengambilan
konklusi hukum baru mengenai suatu persoalan dimana hal itu belum pernah
dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu, baik menyangkut persoalan lama maupun
persoalan baru. Dalam hal ini, pendapat tersebut bisa saja menyangkut persoalan
lama, namun pendapat yang dikemukakan menyangkut persoalan tersebut belum
pernah dikemukakan oleh ulama-ulama sebelumnya. Dengan demikian, seorang mujtahid
kontemporer memiliki pendapat baru menyangkut hal-hal yang telah
memunculkan berbagai pendapat sebelumnya, sehingga pendapat yang dikemukakan
tersebut berbeda dari pendapat-pendapat yang telah ada sebelumnya.
Mengenai ijtihad insya’i ini, Qardhawi berpendapat bahwa
setelah mengutip berbagai pendapat para ulama, maka langkah selanjutnya adalah
mengkaji kembali berbagai pendapat tersebut, kemudian menarik simpulan yang
sesuai dengan nash al-Quran dan Hadits, kaidah-kaidah dan maqashid al-syar’iyah
sambil berdoa semoga Allah mengilhamkan kebenaran, tidak menghalangi tabir
pahala, dan menjaga dari belenggu fanatisme dan taqlid serta hawa nafsu dan
prasangka buruk terhadap orang lain.
3.
Integrasi Antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i
Di samping kedua bentuk ijtihad yang telah diuraikan,
terdapat juga metode ijtihad yang mengintegrasikan antara keduanya.
Penerapannya adalah dengan cara memilih berbagai pendapat para ulama terdahulu
yang dipandang lebih relevan dan kuat, kemudian dalam pendapat tersebut
ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru.
D.
Interaksi dengan al-Qur’an dan Sunnah menurut Yusuf Qardhawi
1.
Interaksi dengan Al-Qur’an
Yusuf Qardhawi membagi tiga cara dalam berinteraksi dengan al-Qur’an,
yaitu:
a) Berinteraksi dengan al-Qur’an: Menghafal,
Membaca, dan Mendengarkan
Diantara karakteristik al-Qur’an adalah ia
merupakan kitab suci yang mudah untuk di hafal, diingat, dan dipahami. Dalam
menghafal al-Qur’an, ada etika-etika yang harus diperhatikan oleh penghafal al-Qur’an
yaitu:
1) Selalu Bersama al-Qur’an
2) Berakhlak dengan Akhlak al-Qur’an
3) Ikhlas dalam Mempelajari al-Qur’an[7]
Dalam membaca al-Qur’an tidak terlepas dari adab,
diantara adab atau sikap yang sopan untuk membaca al-Qur’an adalah sebagaimana
yang dikatakan oleh Yusuf Qardhawi.
1)
Membaca al-Qur’an Secara Tartil
2)
Membaca dengan Irama dan Suara yang Indah
Jika al-Qur’an menjadi ibadah dengan
membacanya, ia juga menjadi ibadah dengan mendengarkannya. Pada saat sekarang,
kesempatan untuk mendengarkan al-Qur’an menjadi terbuka luas dari para qari’
yang bagus dan khusyu, yang bacaannya menyentuh kalbu. Bacaan mereka telah meyebar
dengan perantaraan kaset rekaman yang dijual dengan harga murah. Juga ada radio
yang secara khusus menyiarkan al-Qur’an di banyak Negara Islam. ini merupakan
nikmat Allah swt bagi manusia.
b) Berinteraksi dengan al-Qur’an Melalui
Pemahaman dan Tafsir
Mengkaji al-Qur’an adalah upaya lanjutan
yang dilakukan untuk memahami dan menghayati al-Qur’an secara lebih dalam.
Pengkajian terhadap al-Qur’an pada langkah ini dilakukan dengan mempelajari dan
mengkaji secara lebih dalam dan lebih luas lagi.
Pada tahap ini, kita dituntut tidak hanya
untuk memahami arti ayat-ayat al-Qur’an secara harfiyah, tetapi lebih jauh dari
itu, yaitu mempelajari penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Mempelajari dan
memahami penafsiran ayat-ayat al-Qur’an akan menjadikan kita memahami lebih
jauh lagi pesan yang terdapat dalam ayat-ayat itu dan pesan-pesan yang terdapat
di balik ayat-ayat itu, dan ini hanya dapat diperoleh melalui pengkajian
yang lebih dalam.
c)
Berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan Mengikuti,
Mengamalkannya, dan Berdakwah
Kaum muslimin telah mengetahui semenjak
masa sahabat bahwa keberkahan al-Qur’an bukan dengan jalan membawa,
menggantung, dan menjadikannya hiasan di dinding-dinding. Akan tetapi,
keberkahan al-Qur’an yang sesungguhnya adalah mengikuti (itba’)
mengamalkannya, dan berdakwah.[8]
2.
Interaksi Dengan Hadits
Menurut pandangan Qardhawi cara melakukan interaksi pada hadis nabi
adalah:
a)
Metode
Komperhensif (Manhaaj Syumuuliy)
Yaitu suatu metode yang mencerminkan bahwa hadis itu membahas
semua aspek kehidupan manusia, dari kelahiran hingga kematian bahkan sejak
menjadi sebuah sel. Dalam hadis juga dibahas aspek ketuhanan (hubungan manusia
dan Tuhan), kemanusian (manusia dengan alam).
b)
Metode
Keseimbangan (Minhaaj Mutawaazan)
Yaitu suatu metode yang memiliki ciri untuk selalu menunjang
keseimbangan pada diri manusia, yaitu menyeimbangkan antara roh dan
jasmaniahnya, akal dan hati, dunia dan akhirat, teori dan praktek, ghaib dan
nyata, kebebasan dan tanggung jawab, pribadi dan jamaah, dan antara pengikut
dan kreator.
c)
Metode
Kesederhanaan
Yaitu suatu metode yang ditetapkan dalam menjalankan ketentuannya
yang bertumpu pada toleransi dan kemudahan-kemudahan sunnah tidak akan
memberikan beban yang tak semestinya. Dengan mengemukakan metode ini Qardhawi
ingin memperlihatkan metode berinteraksi pada hadis nabi.
Setelah
kerangka-kerangka ini terbingkai, proses selanjutnya dalam melakukan interaksi
yang lebih intensif pada hadis nabi dipaparkan adanya delapan pedoman yang
diberikan oleh Qardhawi. Tahap pertama proses ini adalah memandang sunnah
dengan bimbingan Alquran. Dengan kata lain, dalam menghadapi masalah tertentu,
ulama harus mulai dengan meneliti apa yang dikatakan al-Qur’an mengenai subjek
tersebut. Tahap kedua adalah mencari seluruh hadis yang berkaitan dengan subjek
tersebut. Tahap ketiga adalah membandingkan hadis-hadis itu, dan mendamaikan
semua hadis itu apabila memungkinkan. Apabila hadis tersebut tidak dapat
didamaikan, hadis-hadis tersebut harus dirangking menurut tingkat
keautentikannya. Al-Qardhawi bersikeras menolak hadis yang tampak berlawanan
dengan hadis lain. Lima pedoman Qardhawi lainnya untuk memahami sunnah berkaitan
dengan interpretasi adalah: hadis harus dipahami dengan mempelajari latar
belakang dan kondisi pada saat hadis itu muncul, elemen hadis yang berubah-ubah
harus dipisahkan dari prinsip-prinsip permanen, makna kiasan harus dipahami, makna
yang jelas dan tersembunyi harus dibedakan, dan makna kata per katanya sendiri
harus sepenuhnya dipahami. al-Qardhawi bertujuan memberikan pedoman yang dapat
dipercaya, untuk bergerak dari hadis ke sunnah lalu ke syari’ah.
E.
Implementasi Metode Ijtihad Menurut Dr. Yusuf Qardhawi
1.
Ijtihad Tarjihi Intiqa’i
Contoh ijtihad tarjih
adalah tentang harusnya meminta izin untuk menikahkan anak gadis. Golongan
Syafi’i, Maliki, dan mayoritas golongan Hanbali berpendapat sehungguhnya orang
tua berhak memaksakan anak gadisnya yang sudah akil balig untuk menikah dengan
calon suami yang dipilih oleh orang tua walaupun tanpa persetujuan gadis
tersebut. Alasan yang digunakan adalah orang tua lebih tahu tentang
kemaslahatan anak gadisnya.
Cara yang
demikian itu mungkin masih dapat diterapkan pada seorang gadis yang belum
mengenal sedikitpun tentang kondisi dan latar belakang suaminya, sedangkan di
zaman modern sekarang para gadis mempunyai kesempatan luas untuk belajar,
bekerja dan berinteraksi dengan lawan jenis dalam kehidupan ini. Akhirnya,
hasil dari ijtihad tarjih ini adalah mengambil pendapat Abu Hanifah, yakni
melibatkan urusan pernikahan kepada calon mempelai wanita untuk mendapatkan
persetujuan dan izinnya.
2.
Ijtihad Insya’i
Contoh yang
dikemukakan adalah tentang zakat tanah sewaan. Maksudnya, penyewa hendaklah
mengeluarkan zakat tanaman atau buah yang dihasilkan dari sebuah tanah sewaan
bila telah sampai nisab dengan tidak menzakati hasil yang seharga ongkos sewa
tanah yang akan diberikan kepada pemilik tanah, karena ongkos sewa tersebut dianggap
sebagai hutang yang menjadi beban penyewa. Dengan demikian, ia hanya
mengeluarkan zakat hasil yang bersih dari tanaman itu. Sedangkan pemilik tanah
yang menyewakannya harus mengeluarkan zakat upah sewaan yang diterimanya
apabila sampai senisab, dikurangi dengan pajak tanah yang harus dibayarkan.
Jadi kedua-duanya mengeluarkan zakat hasil yang diterima masing-masing dari
hasil tanah tersebut. Pendapat ini belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama
terdahulu. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa zakat tanaman dan buah-buahan
dari hasil bumi yang disewa sepenuhnya dibebankan kepada pihak penyewa.
Sedangkan menurut Abu Hanifah, kewajiban zakat sepenuhnya dibebankan kepada si
pemilik tanah atau pihak yang menyewakan tanah.
3.
Integrasi antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i
Sebagai contoh
ijtihad jenis ini adalah masalah aborsi. Lajnah Fatawa di Kuwait
mengeluarkan pendapat tentang aborsi yang dibolehkan dan yang diharamkan.
Lajnah Fatawa telah menyeleksi pendapat-pendapat para pakar fikih Islam
sekaligus menambahkan unsur-unsur kreasi baru yang dituntut oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan ilmu kedokteran. Yang ditunjang dengan segala peralatan
teknologi canggih dan kemampuan untuk mendeteksi apa yang menimpa pada janin
dalam bulan-bulan pertama, berupa cacat yang mempunyai pengaruh fisik/biologis
dan psikis pada kehidupan si janin dikemudian hari menurut sunnatullah yang
berlaku di alam ini. Isi Fatwa yang dikeluarkan tanggal 29 September 1984 itu
adalah seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan seorang wanita yang telah
genap 120 hari, kecuali untuk menyelematkan wanita/ibu itu dari marabahaya yang
ditimbulkan oleh kandungannya. Dan seorang dokter boleh menggugurkan kandungan
wanita dengan persetujuan kedua belah pihak yaitu suami istri, sebelum
kandungan itu genap berusia 40 hari, yakni saat masih berbentuk segumpal darah.
Apabila kandungan itu sudah lebih dari 40 hari dan belum sampai 120 hari maka
dalam keadaan seperti ini tidak boleh dilakukan aborsi kecuali dalam dua
kondisi berikut ini:
a)
Apabila
kandungan itu tetap dipertahankan, akan menimbulkan bahaya bagi sang ibu dan
bahaya itu akan berlangsung terus menerus sampai sehabis melahirkan.
b)
Apabila
sudah dapat dipastikan bahwa janin yang lahir akan menderita cacat baik fisik
atau akalnya, yang kedua hal itu tidak mungkin dapat disembuhkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dr. Yusuf Qardhawi adalah seorang ulama
kontemporer dan penulis yang produktif, ia telah menyusun berbagai karya ilmiah
di bidang keilmuan Islam. Karya-karyanya ada yang berbentuk buku, dan ada juga
yang berbentuk artikel.
Ijtihad menurut Yusuf Qardhawi, yaitu
merupakan suatu hal yang mendapat legitimasi dalam Islam, karena itu peluang
ulama untuk berijtihad saat ini merupakan suatu keharusan dan hukumnya fardu
kifayah, guna menentukan suatu hukum dalam konteks global dan dinamis
Menurut
al-Qardhawi, pada masa sekarang ini ada dua hal ijtihad kontemporer yang perlu
mendapat perhatian kalangan pakar hukum Islam untuk mengkajinya lebih jauh.
1. Bidang Hubungan Keuangan dan Ekonomi
2. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kedokteran
Sedangkan, metode ijtihad menurut Dr.
Yusuf Qardhawi ada tiga, yaitu Ijtihad Tarjihi Intiqa’i, ijtihad insya’i, serta
integrasi antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i.
Yusuf
Qardhawi juga membagi tiga cara dalam
berinteraksi dengan al-Qur’an, yaitu:
1. Berinteraksi dengan al-Qur’an: Menghafal,
Membaca, dan Mendengarkan
2. Berinteraksi dengan al-Qur’an Melalui
Pemahaman dan Tafsir
3. Berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan
Mengikuti, Mengamalkannya, dan Berdakwah
Menurut pandangan Qardhawi cara
melakukan interaksi pada hadis nabi adalah:
1.
Metode
Komperhensif (Manhaaj Syumuuliy)
2.
Metode
Keseimbangan (Minhaaj Mutawaazan)
3.
Metode
Kesederhanaan
Implementasi Metode Ijtihad Menurut
Dr. Yusuf Qardhawi ada 3, yaitu:
a.
Ijtihad
Tarjihi Intiqa’i
Contoh ijtihad tarjih adalah
tentang harusnya meminta izin untuk menikahkan anak gadis. Hasil dari ijtihad
tarjih ini adalah mengambil pendapat Abu Hanifah yakni melibatkan urusan
pernikahan kepada calon mempelai wanita untuk mendapatkan persetujuan dan
izinnya.
b.
Ijtihad
Insya’i
Contoh
yang dikemukakan adalah tentang zakat tanah sewaan. Maksudnya, penyewa
hendaklah mengeluarkan zakat tanaman atau buah yang dihasilkan dari sebuah
tanah sewaan bila telah sampai nisab dengan tidak menzakati hasil yang seharga
ongkos sewa tanah yang akan diberikan kepada pemilik tanah, karena ongkos sewa
tersebut dianggap sebagai hutang yang menjadi beban penyewa. Dengan demikian,
kedua-duanya mengeluarkan zakat hasil yang diterima masing-masing dari hasil
tanah tersebut. Sedangkan pemilik tanah yang menyewakannya harus mengeluarkan
zakat upah sewaan yang diterimanya apabila sampai senisab, dikurangi dengan
pajak tanah yang harus dibayarkan. Jadi kedua-duanya mengeluarkan zakat hasil
yang diterima masing-masing dari hasil tanah tersebut.
4.
Integrasi
antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i
Sebagai contoh ijtihad jenis ini adalah masalah aborsi. Isi Fatwa
adalah seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan seorang wanita yang telah
genap 120 hari, kecuali untuk menyelematkan wanita/ibu itu dari marabahaya yang
ditimbulkan oleh kandungannya. Dan seorang dokter boleh menggugurkan kandungan
wanita dengan persetujuan kedua belah pihak yaitu suami istri, sebelum
kandungan itu genap berusia 40 hari, yakni saat masih berbentuk segumpal darah.
Apabila kandungan itu sudah lebih dari 40 hari dan belum sampai 120 hari maka
dalam keadaan seperti ini tidak boleh dilakukan aborsi kecuali dalam dua
kondisi.
Daftar
Pustaka
Qadir,
Abdurrahman. Studi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah. 1990.
Suryadi.
Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Teras. 2008.
Muhammad
Ichsan. Masalah-masalah Isalam Kontemporer. Jakarta: Najah Press. 1994.
Suryadi.
Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan
Yusuf al-Qaradhawi. Yogyakarta:
Teras. 2008.
Asni.
Jurnal Al-‘Adl. Pemikiran Ijtihad Kontemporer Yusuf Qardhawi dan
Relevansinya Dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Vol. 6 No. 1
Januari 2013.
Qardhawi, Yusuf.
Berinteraksi Dengan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press. 1999.
[1] Abdurrahman
Qadir, Studi Pembaharuan Hukum Islam, Studi Pemikiran Yusuf Qardhawi tentang
Zakat Profesi, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1990, hlm. 16.
[2] Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi, Teras, Yogyakarta, 2008, hlm. 41.
[3] Muhammad
Ichsan, Masalah-masalah Isalam Kontemporer, Najah Press, Jakarta, 1994,
hlm. 219.
[4] Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf
al-Qaradhawi, Teras, Yogyakarta,
2008, hlm.41.
[5] Ibid., hlm.
43
[6] Asni, Jurnal Al-‘Adl, Pemikiran
Ijtihad Kontemporer Yusuf Qardhawi dan Relevansinya Dengan Pembaruan Hukum
Islam di Indonesia, Vol. 6 No. 1 Januari 2013.
[7] Yusuf
Qardhawi, Berinteraksi Dengan Al-Qur’an, Gema Insani Press, Jakarta,
1999, hlm.201.
[8] Ibid.,
hlm. 582.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar