EKSISTENSI PERNIKAHAN ISTRI
YANG DITINGGAL PERGI SUAMI MENCARI NAFKAH
DAN PUTUS KOMUNIKASI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu : Dr. H. Yasin, M.Ag
Disusun Oleh :
Kelas B2-PAI Kelompok 9
1. M. Humam Abdillah (1410110072)
2. Ristiana Nisa’ (1410110074)
3.
Amalia Maulida (1410110075)
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan salah satu ibadah sebagai pelengkap kehidupan
seseorang, yang diharapkan tidak hanya menaungi kehidupan bersama di dalam
dunia ini, namun hingga sampai perjodohan di akhirat. Merupakan hal yang wajar apabila keinginan tersebut
didamba setiap pasangan suami istri yang melangsungkan pernikahan.
Salah satu cara agar pernikahan tersebut dapat
berlangsung hingga akhir hayat dengan kehidupan yang tentram dan damai adalah
dengan terpenuhinya kebutuhan masing-masing pasangan, baik kebutuhan jasmani
maupun kebutuhan rohani. Nafkah, adalah salah satu kebutuhan yang harus
dipenuhi suami kepada istri dan keluarganya. Sehingga segala kebutuhan yang ada
dalam rumah tangga dapat tercukupi dan terpenuhi.
Oleh karena itu, dalam pembahasan pada makalah kali
ini, penulis akan memaparkan dan mengurai tentang nafkah dalam kehidupan rumah
tangga, mulai dari pengertian dan hukumnya, ketentuan nafkah dalam kompilasi
hukum Islam, serta eksistensi pernikahan istri yang ditinggal pergi suami
mencari nafkah dan putus komunikasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nafkah dan bagaimana hukumnya?
2. Bagaimana
ketentuan nafkah dalam kompilasi hukum Islam?
3. Bagaimana
eksistensi pernikahan istri yang ditinggal pergi suami mencari nafkah dan putus
komunikasi?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian nafkah dan hukumnya.
2.
Untuk mengetahui ketentuan nafkah dalam kompilasi
hukum Islam.
3.
Untuk mengetahui eksistensi pernikahan istri yang
ditinggal pergi suami mencari nafkah dan putus komunikasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nafkah dan Hukumnya
1. Pengerian Nafkah
Secara etimologis (bahasa), berarti pergi dan keluar.[1]
Nafkah merupakan kata benda.[2]
Secara terminologis (istilah), adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh istri,
seperti: makanan, pakaian, perabotan, pelayanan, dan segala sesuatu yang ia
butuhkan menurut adat.[3]
Nafkah adalah
pengeluaran atau sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang untuk orang-orang yang
menjadi tanggung jawabnya. Pengeluaran ini harus diberikan untuk
keperluan-keperluan yang baik.[4]
2. Hukum
Nafkah
Nafkah itu wajib dikeluarkan suami untuk istrinya
sebagai imbalan atas kekhususan diri istrinya untuk suami, sesuai dengan hukum
akad yang sah.[5] Dalil kewajibannya
adalah firman Allah QS al-Baqarah: 233
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ﴿۲۳۳﴾
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf ”. (QS
al-Baqarah: 233)
Dan
firman Allah pada QS ath-Thalaq: 6
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ﴿٦﴾
Artinya:
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”. (QS ath-Thalaq: 6)
Dalam
hadits Nabi disebutkan antara lain:
أَطْعِمُوْهُنَّ مِمَّاتَأْكُلُوْنَ وَاكْسُوْهُنَّ مِمَّاتَكْتَسُوْنَ
Artinya:
“Beri makan istri-istrimu seperti apa yang kalian (wahai para suami) makan
dan beri mereka pakaian dari penghasilan yang kalian dapatkan”.
Berdasarkan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits nabi di atas, para ulama fiqh akhirnya
menyimpulkan bahwa nafkah untuk istri meliputi: makanan, lauk-pauk, alat-alat
(sarana) untuk membersihkan anggota tubuh, perabot rumah, tempat tinggal, dan
pembantu (jika diperlukan). Segala keperluan dasar ini merupakan kewajiban
suami yang wajib diberikan kepada istri sebagai haknya menurut cara-cara yang
sesuai dengan tradisinya.[6]
Diriwayatkan,
bahwa istri Abu Sufyan mengadu kepada Rasulullah SAW tentang kekikiran
suaminya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan telah kikir. Ia tidak memberiku nafkah yang
mencukupiku dan anak-anakku. Akhirnya, aku mengambil sebagian hartanya tanpa
seizinnya, Beliau lantas bersabda, Ambillah sebagian dari hartanya yang
mencukupimu dan anak-anakmu secara baik”. Perintah Rasulullah SAW untuk
mengambil sebagian harta suaminya menunjukkan bahwa nafkah itu wajib hukumnya.
Ijmaa’ kaum Muslim sejak zaman Rasulullah SAW hingga sekarang telah sepakat,
bahwa nafkah itu wajib hukumnya.[7]
B. Ketentuan Nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam
Banyaknya nafkah
adalah menurut kebutuhan dan kebiasaan yang berlaku di tempat masing-masing,
disesuaikan dengan tingkatan dan keadaan suami. Walaupun sebagian ulama’
mengatakan bahwa nafkah istri itu ditetapkan dengan kadar yang tertentu, tetapi
yang mu’tamad tidak ditentukan, hanya sekedar cukup serta disesuaikan
dengan keadaan suami.[8]
Nafkah
seorang istri itu harus sesuai dengan ketaatannya. Seorang istri yang tidak
taat (durhaka) kepada
suaminya, tidak berhak mendapatkan segala nafkah.[9]
Sabda Rasulullah SAW:
اِتَّقُوااللهَ فِى النِّسَاءِ فَاِنَّكُمْ اَخَذْتُمُوْهُنَّ بِاَمَانَةِ
اللهِ وَسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ. (رواه مسلم)
Artinya: “Takutlah
kepada Allah dalam urusan perempuan, karena sesungguhnya kamu mengambil mereka
dengan kepercayaan Allah dan halal bagimu mencampuri mereka dengan kalimat
Allah, dan diwajibkan atas kamu (suami) member nafkan dan pakaian kepada mereka
(istri-istri) dengan cara yang sebaik-baiknya (pantas).” (H.R Muslim)
Hadits tersebut
tidak memberikan ketentuan kadar nafkah itu, hanya dengan kata-kata ma’ruf
(pantas), berarti menurut keadaan suatu tempat dan disesuaikan dengan kemampuan
suami serta kedudukannya dalam masyarakat.[10]
Tentu saja jumlah nafkah yang paling baik diberikan
suami kepada istri adalah jumlah yang sesuai dengan gambaran ayat-ayat
al-Qur’an.[11]
Suami sebagai
kepala rumah tangga dalah nahkoda dalam menjalankan rumah tangganya. Ia
memiliki hak dan kewajiban, dan begitu pula istri. Secara umum, hak nafkah
adalah hak mutlak suami yang harus diberikan kepada istri, baik sandang,
pangan, maupun papan. Dalam arti lain, suami memiliki hak untuk memberikan
biaya rumah tangga, dan semua keperluan istri dan anak dan berbagai keperluan
lainnya. Lalai tidak memberikan nafkah memberikan pengaruh hukum bagi keduanya.
Artinya, istri boleh menggugat suami untuk bercerai dan mengakhiri rumah
tangganya. Akan tetapi, ukuran kafaah bergantung pada kemampuan dan kapasitas
suami istri.[12] Dengan
demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pemberian nafkah suami
bertanggung jawab penuh selama istri setia atau tidak melakukan hal-hal yang
melanggar agama dan tanpa izin suami. Apabila hal itu terjadi, nafkah bisa
dikurangi atau dihapuskan.[13]
Bahkan, seorang
suami masih berkewajiban memberi nafkah kepada perempuan yang ditalak selama
masa idah. Apabila nafkah kepadanya wajib maka nafkah suami kepada istri yang
belum dicerai seharusnya lebih diwajibkan.[14]
Demikian ketentuan nafkah dalam kompilasi hukum di dalam agama kita yaitu Islam.
C. Eksistensi Pernikahan Istri yang Ditinggal Pergi
Suami Mencari Nafkah
Dan Putus Komunikasi
Nafkah itu wajib dikeluarkan suami untuk istrinya,
karena sang istri mengabdikan dirinya pada kehidupan rumah tangga, sehingga
tujuan pernikahan yang dilandasi sebuah akad nikah benar-benar bisa tercapai.[15]
Apabila keadaan suami mengharuskannya untuk pergi ke tempat tertentu selama
waktu tertentu untuk sebuah pekerjaan atau belajar, maka sang suami berhak
menyertakan istrinya. Apabila istrinya menolak pergi, maka ia tidak berhak
mendapat nafkah, selama kepergiannya bukan dengan maksud menyakiti atau
menipunya. Namun
sebagian fuqaha berpendapat, bahwa perkara itu diserahkan kepada hakim. [16]
Karena nafkah itu hak istri, maka kewajiban nafkah
itu akan gugur jika istri rela ia tidak diberi nafkah oleh suaminya.[17]
Hal ini mungkin terjadi
karena sang istri adalah orang yang kaya atau suami istri sama-sama mempunyai
penghasilah tetap. Tetapi jika istri itu tetap menuntut haknya walaupun ia kaya
atau mempunyai penghasilan tetap, maka suami wajib membayarnya.[18]
Apabila sang
suami pergi dan komunikasi keduanya terputus, tapi ia meninggalkan nafkah kepada
istrinya maka hal ini tidak ada masalah. Karena sang suami telah melaksanakan
kewajibannya untuk memberi nafkah. Apabila di rumahnya terdapat harta simpanan
suami, sementara nafkah istri yang diberikan suaminya telah habis maka sang
istri boleh mengambil harta tersebut secukupnya dengan baik.
Uang yang ada
pada suami absen itulah yang pertama kali harus digunakan untuk bernafkah.
Apabila ia tidak ada uang maka beralih ke barang, lalu beralih ke bangunan.
Apabila sang suami tidak memiliki harta kontan maka hakim boleh memutuskannya
untuk memberi nafkah dalam ketiadaannya dan mengizinkan istrinya untuk
berhutang. Ketika sang suami telah kembali, ia dituntut untuk membayar hutang
tersebut.[19] Adapun
jika suami menghilang sementara istri tidak mengetahui tempat hartanya, apakah
istri berhak mencerai suami? Para fuqaha berbeda pendapat mengenai keberadaan
hak ini bagi si istri.
1.
Madzhab Hanafi berpendapat, bahwa hal tersebut tidak
ada. Namun demikian, istri berhak meninta hakim memberi izin kepadanya guna
menghutang atas nama suami, jika hilang.[20]
Madzhab Hanafi beragumen dengan dalil-dalil berikut:
a.
Tidak ada dalil yang sharih baik dari al-Qur’an
dan Hadits yang menunjukkan diperbolehkannya memisahkan suami istri karena tidak
adanya nafkah. Padahal waktu itu banyak dari para sahabat yang hidup dalam
kemiskinan. Seandainya hal itu menjadi hal yang membolehkan untuk memisahkan
suami istri niscaya Rasulullah akan memutuskan seperti itu atau beliau akan
menjelaskan kepada para istri bahwa mereka mempunyai hak untuk itu.
b.
Allah memberikan masing-masing suami untuk memberikan
nafkah sesuai dengan kemampuannya (ath-Thalaq: 7)
2.
Sementara itu ketiga imam madzhab, yaitu Maliki,
Syafi’i, dan Ahmad memberikan hak untuk meminta cerai kepada suami dan hakimpun
harus mengabulkan permintaanya apabila kebenaran dari pengakuannya dapat
dibuktikan. Perpisahan yang dimaksud di sini adalah talak raj’i. Ke tiga
madzhab beragumen dengan dalil-dalil berikut:
a.
Firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’: 19
…وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ…﴿١۹﴾
Artinya: “Dan bergaullah dengan
mereka secara patut.”
(an-Nisa’: 19)
Mereka
mengatakan bahwa menahan istri dalam perkawinan dengan tidak memberinya nafkah
merupakan kemudharatan besar yang bertentangan dengan apa yang Allah
perintahkan. Oleh karena itu, suami harus melepaskannya dengan jalan yang baik,
yaitu dengan menalaknya. Hal itu dilakukan demi menghilangkan kezaliman dan
mencegah kemudharatan bagi istri.
b.
Sabda Rasulullah SAW, “Tidak adak kemudharatan dan
memudharatkan”. Dengan keumumannya, hadits ini melarang seseorang
menimpakan kemudharatan kepada orang lain, atau melarang dua orang saling
memudharatkan, sehingga masing-masing pihak memudharatkan pihak yang lainnya.[21]
Jika suami
berada dalam tempat yang jauh, tidak diketahui hidup dan matinya maka hakim
dapat menjatuhkan talaknya tanpa memberi peringatan. Syaratnya, ikatan
perkawinan dan ketiadaan suami dapat dibuktikan, sementara tidak ada harta yang
dapat dijadikan nafkah dari suami kepada istrinya.[22]
Eksisitensi pernikahan
perempuan yang ditinggal pergi suami mencari nafkah dan putus komunikasi juga bergantung
apada adanya taklik talak. taklik talak adalah talak yang digantungkan
terjadinya terhadap suatu peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian.
Atau menggantungkan jatuhnya talak dengan terjadinya hal yang disebutkan
setelah akad nikah. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara.
Berikut contoh sighat ta’lik yang biasa diucapakan suami. “Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sighat ta’lik sebagai
berikut :
Apabila saya :
Apabila saya :
1. Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
2. Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
3. Menyakiti badan atau jasmani istri saya;
4. Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan
atau lebih,
Dan karena perbuatan saya tersebut,
istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh
Pengadilan tersebut kemudian istri sayamembayar uang sebesar Rp. 10,000,-
(sepuluh ribu rupiah) sebagai ‘iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah
talak saya satu kepadanya.Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk
menerima uang ‘iwadl (pengganti) tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil
Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial.
Dari
uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa eksistensi sebuah pernikahan,
perempuan yang ditinggal pergi asuami mencari nafkah dan putus komunikasi dapat
ditentukan berdasarkan sighat taqlid yang dulu pernah diucapkan suami kepada
istri setelah akad nikah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Nafkah adalah pengeluaran atau sesuatu yang
dikeluarkan oleh seseorang untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Pengeluaran ini harus diberikan untuk keperluan-keperluan yang baik. Nafkah
itu wajib dikeluarkan suami untuk istrinya sebagai imbalan atas kekhususan diri
istrinya untukk suami, sesuai denagn hukum akad yang sah.
2.
Banyaknya nafkah adalah menurut kebutuhan dan
kebiasaan yang berlaku di tempat masing-masing, disesuaikan dengan tingkatan
dan keadaan suami. Walaupun sebagian ulama’ mengatakan bahwa nafkah istri itu
ditetapkan dengan kadar yang tertentu, tetapi yang mu’tamad tidak
ditentukan, hanya sekedar cukup serta disesuaikan dengan keadaan suami.
3.
Jika suami menghilang sementara istri tidak mengetahui
tempat hartanya, apakah istri berhak mencerai suami? Para fuqaha berbeda
pendapat mengenai keberadaan hak ini bagi si istri. Jika suami berada dalam
tempat yang jauh, tidak diketahui hidup dan matinya maka hakim dapat
menjatuhkan talaknya tanpa memberi peringatan. Syaratnya, ikatan perkawinan dan
ketiadaan suami dapat dibuktikan, sementara tidak ada harta yang dapat
dijadikan nafkah dari suami kepada istrinya.
B.
Saran
Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari
pembahasan makalah eksistensi
pernikahan istri yang ditinggal pergi
suami mencari nafkah dan putus komunikasi. Penulis menyampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna, maka dari itu kritik
dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
semua pihak yang membaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Dedi
Supriyadi, Fiqh Munaqahat Perbandingan (dari Tekstualitas sampai Legislasi),
Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Dendy
Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Harits
Fadly dan Ahmad Khotib, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Solo: Era
Intermedia, 2005.
Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2001.
Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2010.
Supiana,
Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
Zakiah
Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
[3] Harits
Fadly dan Ahmad Khotib, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Solo: Era
Intermedia, 2005, hlm. 262.
[4] Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2001, hlm. 150.
[9] (وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ) أي الأب (رِزْقُهُنَ) إطعام الوالدات (وَكِسْوَتُهُنَّ) على
الإرضاع إذاكن مطلقات (بِالْمَعْرُوفِ)
[12] Dedi
Supriyadi, Fiqh Munaqahat Perbandingan (dari Tekstualitas sampai Legislasi),
Bandung: Pustaka Setia, 2011, hlm. 121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar