Senin, 03 Juli 2017

EKSISTENSI PERNIKAHAN ISTRI YANG DITINGGAL PERGI SUAMI MENCARI NAFKAH DAN PUTUS KOMUNIKASI

EKSISTENSI PERNIKAHAN ISTRI
YANG DITINGGAL PERGI SUAMI MENCARI NAFKAH
DAN PUTUS KOMUNIKASI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu : Dr. H. Yasin, M.Ag

 









Disusun Oleh :
Kelas B2-PAI Kelompok 9

1.    M. Humam Abdillah             (1410110072)
2.    Ristiana Nisa’                        (1410110074)
3.    Amalia Maulida                     (1410110075)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pernikahan merupakan salah satu ibadah sebagai pelengkap kehidupan seseorang, yang diharapkan tidak hanya menaungi kehidupan bersama di dalam dunia ini, namun hingga sampai perjodohan di akhirat. Merupakan hal yang wajar apabila keinginan tersebut didamba setiap pasangan suami istri yang melangsungkan pernikahan.
Salah satu cara agar pernikahan tersebut dapat berlangsung hingga akhir hayat dengan kehidupan yang tentram dan damai adalah dengan terpenuhinya kebutuhan masing-masing pasangan, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani. Nafkah, adalah salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi suami kepada istri dan keluarganya. Sehingga segala kebutuhan yang ada dalam rumah tangga dapat tercukupi dan terpenuhi.
Oleh karena itu, dalam pembahasan pada makalah kali ini, penulis akan memaparkan dan mengurai tentang nafkah dalam kehidupan rumah tangga, mulai dari pengertian dan hukumnya, ketentuan nafkah dalam kompilasi hukum Islam, serta eksistensi pernikahan istri yang ditinggal pergi suami mencari nafkah dan putus komunikasi.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian nafkah dan bagaimana hukumnya?
2.      Bagaimana ketentuan nafkah dalam kompilasi hukum Islam?
3.      Bagaimana eksistensi pernikahan istri yang ditinggal pergi suami mencari nafkah dan putus komunikasi?
C.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian nafkah dan hukumnya.
2.      Untuk mengetahui ketentuan nafkah dalam kompilasi hukum Islam.
3.      Untuk mengetahui eksistensi pernikahan istri yang ditinggal pergi suami mencari nafkah dan putus komunikasi.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nafkah dan Hukumnya
1.      Pengerian Nafkah
Secara etimologis (bahasa), berarti pergi dan keluar.[1] Nafkah merupakan kata benda.[2] Secara terminologis (istilah), adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh istri, seperti: makanan, pakaian, perabotan, pelayanan, dan segala sesuatu yang ia butuhkan menurut adat.[3]
Nafkah adalah pengeluaran atau sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Pengeluaran ini harus diberikan untuk keperluan-keperluan yang baik.[4]
2.      Hukum Nafkah
Nafkah itu wajib dikeluarkan suami untuk istrinya sebagai imbalan atas kekhususan diri istrinya untuk suami, sesuai dengan hukum akad yang sah.[5] Dalil kewajibannya adalah firman Allah QS al-Baqarah: 233
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ﴿۲۳۳﴾
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf ”. (QS al-Baqarah: 233)
Dan firman Allah pada QS ath-Thalaq: 6
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ﴿٦﴾

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”. (QS ath-Thalaq: 6)
Dalam hadits Nabi disebutkan antara lain:
أَطْعِمُوْهُنَّ مِمَّاتَأْكُلُوْنَ وَاكْسُوْهُنَّ مِمَّاتَكْتَسُوْنَ
Artinya: “Beri makan istri-istrimu seperti apa yang kalian (wahai para suami) makan dan beri mereka pakaian dari penghasilan yang kalian dapatkan”.
Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits nabi di atas, para ulama fiqh akhirnya menyimpulkan bahwa nafkah untuk istri meliputi: makanan, lauk-pauk, alat-alat (sarana) untuk membersihkan anggota tubuh, perabot rumah, tempat tinggal, dan pembantu (jika diperlukan). Segala keperluan dasar ini merupakan kewajiban suami yang wajib diberikan kepada istri sebagai haknya menurut cara-cara yang sesuai dengan tradisinya.[6]
Diriwayatkan, bahwa istri Abu Sufyan mengadu kepada Rasulullah SAW tentang kekikiran suaminya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan telah kikir. Ia tidak memberiku nafkah yang mencukupiku dan anak-anakku. Akhirnya, aku mengambil sebagian hartanya tanpa seizinnya, Beliau lantas bersabda, Ambillah sebagian dari hartanya yang mencukupimu dan anak-anakmu secara baik”. Perintah Rasulullah SAW untuk mengambil sebagian harta suaminya menunjukkan bahwa nafkah itu wajib hukumnya. Ijmaa’ kaum Muslim sejak zaman Rasulullah SAW hingga sekarang telah sepakat, bahwa nafkah itu wajib hukumnya.[7]



B.     Ketentuan Nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam
Banyaknya nafkah adalah menurut kebutuhan dan kebiasaan yang berlaku di tempat masing-masing, disesuaikan dengan tingkatan dan keadaan suami. Walaupun sebagian ulama’ mengatakan bahwa nafkah istri itu ditetapkan dengan kadar yang tertentu, tetapi yang mu’tamad tidak ditentukan, hanya sekedar cukup serta disesuaikan dengan keadaan suami.[8]
Nafkah seorang istri itu harus sesuai dengan ketaatannya. Seorang istri yang tidak taat (durhaka) kepada suaminya, tidak berhak mendapatkan segala nafkah.[9] Sabda Rasulullah SAW:
اِتَّقُوااللهَ فِى النِّسَاءِ فَاِنَّكُمْ اَخَذْتُمُوْهُنَّ بِاَمَانَةِ اللهِ وَسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ. (رواه مسلم)
Artinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, karena sesungguhnya kamu mengambil mereka dengan kepercayaan Allah dan halal bagimu mencampuri mereka dengan kalimat Allah, dan diwajibkan atas kamu (suami) member nafkan dan pakaian kepada mereka (istri-istri) dengan cara yang sebaik-baiknya (pantas).” (H.R Muslim)
Hadits tersebut tidak memberikan ketentuan kadar nafkah itu, hanya dengan kata-kata ma’ruf (pantas), berarti menurut keadaan suatu tempat dan disesuaikan dengan kemampuan suami serta kedudukannya dalam masyarakat.[10] Tentu saja jumlah nafkah yang paling baik diberikan suami kepada istri adalah jumlah yang sesuai dengan gambaran ayat-ayat al-Qur’an.[11]
Suami sebagai kepala rumah tangga dalah nahkoda dalam menjalankan rumah tangganya. Ia memiliki hak dan kewajiban, dan begitu pula istri. Secara umum, hak nafkah adalah hak mutlak suami yang harus diberikan kepada istri, baik sandang, pangan, maupun papan. Dalam arti lain, suami memiliki hak untuk memberikan biaya rumah tangga, dan semua keperluan istri dan anak dan berbagai keperluan lainnya. Lalai tidak memberikan nafkah memberikan pengaruh hukum bagi keduanya. Artinya, istri boleh menggugat suami untuk bercerai dan mengakhiri rumah tangganya. Akan tetapi, ukuran kafaah bergantung pada kemampuan dan kapasitas suami istri.[12] Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pemberian nafkah suami bertanggung jawab penuh selama istri setia atau tidak melakukan hal-hal yang melanggar agama dan tanpa izin suami. Apabila hal itu terjadi, nafkah bisa dikurangi atau dihapuskan.[13]
Bahkan, seorang suami masih berkewajiban memberi nafkah kepada perempuan yang ditalak selama masa idah. Apabila nafkah kepadanya wajib maka nafkah suami kepada istri yang belum dicerai seharusnya lebih diwajibkan.[14] Demikian ketentuan nafkah dalam kompilasi hukum di dalam agama kita yaitu Islam.

C.    Eksistensi Pernikahan Istri yang Ditinggal Pergi Suami Mencari Nafkah Dan Putus Komunikasi
Nafkah itu wajib dikeluarkan suami untuk istrinya, karena sang istri mengabdikan dirinya pada kehidupan rumah tangga, sehingga tujuan pernikahan yang dilandasi sebuah akad nikah benar-benar bisa tercapai.[15] Apabila keadaan suami mengharuskannya untuk pergi ke tempat tertentu selama waktu tertentu untuk sebuah pekerjaan atau belajar, maka sang suami berhak menyertakan istrinya. Apabila istrinya menolak pergi, maka ia tidak berhak mendapat nafkah, selama kepergiannya bukan dengan maksud menyakiti atau menipunya. Namun sebagian fuqaha berpendapat, bahwa perkara itu diserahkan kepada hakim. [16]
Karena nafkah itu hak istri, maka kewajiban nafkah itu akan gugur jika istri rela ia tidak diberi nafkah oleh suaminya.[17] Hal ini mungkin terjadi karena sang istri adalah orang yang kaya atau suami istri sama-sama mempunyai penghasilah tetap. Tetapi jika istri itu tetap menuntut haknya walaupun ia kaya atau mempunyai penghasilan tetap, maka suami wajib membayarnya.[18]
Apabila sang suami pergi dan komunikasi keduanya terputus, tapi ia meninggalkan nafkah kepada istrinya maka hal ini tidak ada masalah. Karena sang suami telah melaksanakan kewajibannya untuk memberi nafkah. Apabila di rumahnya terdapat harta simpanan suami, sementara nafkah istri yang diberikan suaminya telah habis maka sang istri boleh mengambil harta tersebut secukupnya dengan baik.
Uang yang ada pada suami absen itulah yang pertama kali harus digunakan untuk bernafkah. Apabila ia tidak ada uang maka beralih ke barang, lalu beralih ke bangunan. Apabila sang suami tidak memiliki harta kontan maka hakim boleh memutuskannya untuk memberi nafkah dalam ketiadaannya dan mengizinkan istrinya untuk berhutang. Ketika sang suami telah kembali, ia dituntut untuk membayar hutang tersebut.[19] Adapun jika suami menghilang sementara istri tidak mengetahui tempat hartanya, apakah istri berhak mencerai suami? Para fuqaha berbeda pendapat mengenai keberadaan hak ini bagi si istri.
1.      Madzhab Hanafi berpendapat, bahwa hal tersebut tidak ada. Namun demikian, istri berhak meninta hakim memberi izin kepadanya guna menghutang atas nama suami, jika hilang.[20] Madzhab Hanafi beragumen dengan dalil-dalil berikut:
a.       Tidak ada dalil yang sharih baik dari al-Qur’an dan Hadits yang menunjukkan diperbolehkannya memisahkan suami istri karena tidak adanya nafkah. Padahal waktu itu banyak dari para sahabat yang hidup dalam kemiskinan. Seandainya hal itu menjadi hal yang membolehkan untuk memisahkan suami istri niscaya Rasulullah akan memutuskan seperti itu atau beliau akan menjelaskan kepada para istri bahwa mereka mempunyai hak untuk itu.
b.      Allah memberikan masing-masing suami untuk memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya (ath-Thalaq: 7)
2.      Sementara itu ketiga imam madzhab, yaitu Maliki, Syafi’i, dan Ahmad memberikan hak untuk meminta cerai kepada suami dan hakimpun harus mengabulkan permintaanya apabila kebenaran dari pengakuannya dapat dibuktikan. Perpisahan yang dimaksud di sini adalah talak raj’i. Ke tiga madzhab beragumen dengan dalil-dalil berikut:
a.       Firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’: 19
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ﴿١۹﴾
Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa’: 19)
Mereka mengatakan bahwa menahan istri dalam perkawinan dengan tidak memberinya nafkah merupakan kemudharatan besar yang bertentangan dengan apa yang Allah perintahkan. Oleh karena itu, suami harus melepaskannya dengan jalan yang baik, yaitu dengan menalaknya. Hal itu dilakukan demi menghilangkan kezaliman dan mencegah kemudharatan bagi istri.
b.      Sabda Rasulullah SAW, “Tidak adak kemudharatan dan memudharatkan”. Dengan keumumannya, hadits ini melarang seseorang menimpakan kemudharatan kepada orang lain, atau melarang dua orang saling memudharatkan, sehingga masing-masing pihak memudharatkan pihak yang lainnya.[21]
Jika suami berada dalam tempat yang jauh, tidak diketahui hidup dan matinya maka hakim dapat menjatuhkan talaknya tanpa memberi peringatan. Syaratnya, ikatan perkawinan dan ketiadaan suami dapat dibuktikan, sementara tidak ada harta yang dapat dijadikan nafkah dari suami kepada istrinya.[22]
Eksisitensi pernikahan perempuan yang ditinggal pergi suami mencari nafkah dan putus komunikasi juga bergantung apada adanya taklik talak. taklik talak adalah talak yang digantungkan terjadinya terhadap suatu peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian.  Atau menggantungkan  jatuhnya talak dengan terjadinya hal yang disebutkan setelah akad nikah. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara.
Berikut contoh sighat ta’lik yang biasa diucapakan suami. “Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sighat ta’lik sebagai berikut :
Apabila saya :
1.    Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
2.    Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
3.    Menyakiti badan atau jasmani istri saya;
4.    Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih,
Dan karena perbuatan saya tersebut, istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut kemudian istri sayamembayar uang sebesar Rp. 10,000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai ‘iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk menerima uang ‘iwadl (pengganti) tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa eksistensi sebuah pernikahan, perempuan yang ditinggal pergi asuami mencari nafkah dan putus komunikasi dapat ditentukan berdasarkan sighat taqlid yang dulu pernah diucapkan suami kepada istri setelah akad nikah.

BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
1.      Nafkah adalah pengeluaran atau sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Pengeluaran ini harus diberikan untuk keperluan-keperluan yang baik. Nafkah itu wajib dikeluarkan suami untuk istrinya sebagai imbalan atas kekhususan diri istrinya untukk suami, sesuai denagn hukum akad yang sah.
2.      Banyaknya nafkah adalah menurut kebutuhan dan kebiasaan yang berlaku di tempat masing-masing, disesuaikan dengan tingkatan dan keadaan suami. Walaupun sebagian ulama’ mengatakan bahwa nafkah istri itu ditetapkan dengan kadar yang tertentu, tetapi yang mu’tamad tidak ditentukan, hanya sekedar cukup serta disesuaikan dengan keadaan suami.
3.      Jika suami menghilang sementara istri tidak mengetahui tempat hartanya, apakah istri berhak mencerai suami? Para fuqaha berbeda pendapat mengenai keberadaan hak ini bagi si istri. Jika suami berada dalam tempat yang jauh, tidak diketahui hidup dan matinya maka hakim dapat menjatuhkan talaknya tanpa memberi peringatan. Syaratnya, ikatan perkawinan dan ketiadaan suami dapat dibuktikan, sementara tidak ada harta yang dapat dijadikan nafkah dari suami kepada istrinya.


B.     Saran
Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari pembahasan makalah eksistensi pernikahan istri  yang ditinggal pergi suami mencari nafkah dan putus komunikasi. Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.
DAFTAR PUSTAKA

Dedi Supriyadi, Fiqh Munaqahat Perbandingan (dari Tekstualitas sampai Legislasi), Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Solo: Era Intermedia, 2005.
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2001. 
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2010.
Supiana, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.




[1] Supiana, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, hlm. 136.
[2] Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 105.
[3] Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Solo: Era Intermedia, 2005, hlm. 262.
[4] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2001, hlm. 150. 
[5] Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Loc cit.
[6] Husein Muhammad, Op.Cit.,  hlm. 152
[7] Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Op.Cit., hlm. 264
[8] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2010, hlm. 422.
[9] (وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ) أي الأب (رِزْقُهُنَ) إطعام الوالدات (وَكِسْوَتُهُنَّ) على الإرضاع إذاكن مطلقات (بِالْمَعْرُوفِ)
[10] Sulaiman Rasjid, Op.Cit., hlm.423
[11] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 146
[12] Dedi Supriyadi, Fiqh Munaqahat Perbandingan (dari Tekstualitas sampai Legislasi), Bandung: Pustaka Setia, 2011, hlm. 121
[13] Ibid., hlm. 123
[14] Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Op.Cit., hlm. 263
[15] Ibid., hlm. 265
[16] Ibid., hlm. 268
[17] Zakiah Daradjat, Op.Cit., hlm. 146
[18] Ibid., hlm. 147
[19] Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Op.Cit., hlm. 263
[20] Ibid., hlm. 459
[21] Ibid., hlm. 461
[22] Ibid., hlm. 466

Tidak ada komentar:

Posting Komentar