Kamis, 27 Oktober 2016

Pendidikan dan Hubungan Antar Kelompok

PENDIDIKAN DAN
HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu : Siti Malaiha Dewi, S.Sos., M.Si

 










Disusun Oleh :
Kelas B-PAI Kelompok 3
1.    Aida Aryati                          (1410110062)
2.    Ristiana Nisa’                        (1410110074)
3.    Nisaul Hafiya                        (1410110078)

 


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
TAHUN 2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu hal yang utama yang mampu mempengaruhi pola pikir dan perilaku baik seseorang maupun kelompok. Pendidikan sebagai salah satu sarana untuk mencerdaskan individu, baik itu cerdas dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Pada dasarnya  pendidikan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Pendidikan diperlukan oleh manusia agar secara fungsional manusia diharapkan mampu memiliki kecerdasan baik kecerdasan intelligence, spiritual maupun emosional untuk menjalani kehidupannya dengan bertanggung jawab, baik secara pribadi, sosial maupun profesional.
Kita tidak dapat menghindari adanya suatu kelompok yang terbentuk dalam kehidupan bermasyarakat,. Baik itu karena terbentuk dengan sendirinya, maupun terbentuk dengan terstruktur dan direncanakan. Sehingga dalam suatu masyarakat, akan terbentuk beberepa kelompok yang saling berinteraksi dalam masyarakat tersebut. Usaha untuk saling berinteraksi antar kelompok disebut dengan hubungan antar kelompok.
Pembahasan bagaimana peran pendidikan dalam mempengaruhi hubungan antar kelompok akan dibahas dalam makalah ini. Serta korelasi antara pendidikan dan hubungan antar kelompok sehingga mampu menciptakan suatu masyarakat multicultural yang di dalamnya terdapat kelompok plural, serta mampu menuju  masyarakat yang harmonis dalam masyarakat yang majemuk.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian kelompok?
2.      Bagaimana hubungan antar kelompok?
3.      Bagaimana korelasi antara pendidikan dan hubungan antar kelompok?

 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kelompok
Kehidupan manusia yang tidak lepas dari kehidupan berkelompok karena pada dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri, manusia mempunyai jiwa sosial yang terdiri dari fikiran dan perasaan. Keduanya akan menghasilkan kehendak yang kemudian menjadi suatu bentuk tindakan. Sikap dan tindakan inilah yang kemudian menjadi landasan jasmaniah manusia sebagai makhluk biologis. Menurut Abdul Rahmat:
 Pergaulan manusia pada awalnya dimulai dari kelompok kecil dalam masyarakat, yang kemudian disebut keluarga. Dari keluarga inilah kemudian tercipta pengalaman-pengalaman (social experiences) yang nantinya mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian seseorang.”[1]

Menurut Joseph S. Roucek dalam Abullah Idi, mengatakan bahwa “Suatu kelompok meliputi dua atau lebih manusia yang diantara mereka terdapat beberapa pola interasi yang dapat dipahami oleh para anggotanya atau orang lain secara keseluruhan.” Sedangkan menururt Mayor Polak dalam Abdullah Idi, mengatakan bahwa “Kelompok sosial adalah suatu group, yaitu sejumlah orang yang ada antara hubungan satu sama lain dan hubungan itu bersifat sebagai sebuah struktur.”[2] Hal tersebut juga dikatakan oleh Sajogyo dan Pujiwati Sajogyo bahwa “Kelompok terbentuk karena adanya relasi sosial yang bersifat langsung antara anggota-anggotanya dalam soal-soal yang pokok atau penting.”[3]
Menurut Rogers dalam Abdul Rahmat, mengemukakan bahwa kelompok adalah “Composed of People, in interaction or communication and, together physically, with common interest or goals.”[4] Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa kelompok adalah sekumpulan dari beberapa orang yang berinteraksi atau berkomunikasi dan hidup bersama dengan kepentingan atau tujuan yang sama.
Berdasarkan definisi kemompok di atas, dapat disimpulkan bahwa kelompok adalah  sebagai suatu kumpulan dari  dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan terstruktur dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga mengakibatkan tumbuhnya rasa solidaritas antar sesama anggota.
Menurut Charles Harton Colley dalam Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati membagi kelompok menjadi dua bagian, yaitu kelompok primer (Primary Group) dan kelompok sekunder (Secondary Group).
“Kelompok primer atau face to face group  merupakan kelompok sosial yang paling sederhana, di mana anggotanya saling mengenal serta ada kerja sama yang erat. Contohnya keluarga, kelompok sepermainan, dan lain-lain. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang terdiri dari banyak orang, yang sifat hubungannya tidak berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga tidak langgeng. Contohnya hubungan kontrak jual beli.”[5]

Jadi, hubungan dan interaksi di dalam sebuah keluarga dan hubungan antar teman dekat merupakan bagian dari kelompok primer, di mana mereka saling mengenal dengan baik sosok pribadi tersebut sehingga terjalin kedekatan antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan, hubungan yang terjadi antara seorang pembeli dan penjual merupakan bagian dari kelompok sekunder, di mana hubungan mereka hanya sebatas interaksi saling membutuhkan dalam hubungan jual beli.

B.     Hubungan Antar Kelompok
Menurut Homans dalam Abdul Rahmat mengemukakan bahwa ada tiga konsep tentang kelompok sosial, yaitu kegiatan, interaksi dan perasaan.[6] Kegiatan merupakan perilaku seseorang yang tampak mengenai suatu bentuk peristiwa yang dilakukan oleh para aggotanya. Misalnya seseorang yang mencari buku di perpustakaan untuk mengerjakan tugas kelompok. interaksi merupakan segala macam bentuk kegiatan yang mampu merangsang seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya dalam mengerjakan tugas kelompok perlu adanya komunikasi antar anggota. Perasaan merupakan suatu hal yang muncul secara subjektif, baik pada setiap anggota kelompok maupun antar kelompok. Misalnya, rasa tidak suka kepada seseorang yang ditimbukan karena adanya pebedaan pendapat antara anggota kelompok yang satu dengan anggota yang lain. Hal ini menimbulkan suatu prasangka terhadap antar anggota kelompok maupun antar kelompok.
Prasangka merupakan suatu hal wajar yang timbul bila terjadi hubungan antara dua kelompok yang berlainan. Manusia sadar akan kesamaan dalam kalangannya sendiri dan merasa solider dengan kelompok yang diikutinya. Sebaliknya, timbul rasa tidak suka terhadap orang yang berbeda. Perasaan itulah yang menimbulkan perasaan loyalitas terhadap kelompok sendiri dan rasa bermusuhan terhadap semua yang mengancam rasa kekompakan itu.
Menurut S. Nasution mengatakan bahwa “Pada umunya orang tidak mau terang-terangan mengaku bahwa ia berprasangka dan biasanya mencari perlindungan di belakang alasan-alasan yang mulia.”[7] Hal itu disebabkan karena pada umumnya seseorang akan lebih menjaga perasaan kepada orang yang ia prasangkai. Menurut S. Nasution mengatakan bahwa “Prasangka bukanlah suatu insting yang dibawa lahir, melainkan sesuatu yang dipelajari. Karena prasangka itu dipelajari, maka dapat diubah atau dikurangi dan dapat pula dicegah timbulnya.”[8] Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati mengatakan bahwa “Paham prasangka dalam kelompok-kelompok sosial haruslah dihindari karena kelompok-kelompok sosial merupakan lawan individu, keduanya hanya dapat dimengerti bila dipelajari di dalam hubungan antara yang satu dengan yang lain.”[9]

Jadi, sebuah prasangka yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu kelompok seharusnya diminimalkan, karena prasangka itu mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Selain itu, prasangka juga menimbulkan masalah-masalah sosial dan kesenjangan sosial dalam suatu masyarakat.

C.    Korelasi Antara Pendidikan dan Hubungan Antar Kelompok
Dunia pendidikan yang di dalamnya terdapat berbagai jenis sifat manusia dan berasal dari kelompok sosial yang berbeda-beda, mengakibatkan adanya pembentukan komunikasi yang dibangun dari sisi pribadi yang sama. Seseorang akan mencari teman bicara yang memiliki pandangan yang sejalan dan cocok dengan pribadinya. Menurut Abdullah Idi, murid-murid di sekolah sering menunjukkan perbedaan asal kesukuan/etnis, agama, adat istiadat dan kedudukan sosial. Berdasarkan perbedaan itu mungkin timbul golongan minoritas di kalangan murid-murid, yang tersembunyi atau nyata. Kelompok dalam sekolah dapat dikategorikan berdasarkan:[10]
Pertama, status sosial orang tua murid. Status sosial orang tua murid sangat mempengaruhi pergaulan antar siswa. Selain faktor kecocokan berdasarkan pribadi seseorang, murid sering melihat kondisi orang tua dari temannya tersebut. Tidak sedikit murid yang berasal dari kalangan atas memilih berteman dengan anak yang selevel dengan dirinya atau bahkan lebih tinggi darinya, mereka tidak mau berteman dengan anak yang levelnya berada di bawahnya.
Kedua, hobi/minat/kegemaran. Sekolah yang memfasilitasi hobi/minat/kegemaran murid-muridnya melalui ekstrakurikuler tak jarang malah mengakibatkan munculnnya kelompok-kelompok murid. Anak-anak yang emosionalnya dibangun melalui ikatan antar anggota di klub-nya itu cenderung bergaul dengan teman seklubnya dibanding dengan teman yang bukan dari klub yang diikutinya itu. Misalnya, murid yang mengikuti ekstrakurikuler musik, dia akan lebih suka berteman dengan teman yang menyukai musik juga dibanding berteman dengan teman yang suka menulis (jurnalistik).
Ketiga, intelektualitas. Tingkat kepandaian di antara siswa terkadang membuat murid-murid memilih berteman dengan anak yang lebih pandai, sehingga murid-murid yang merasa dirinya kurang pandai akan canggung berteman dengan anak yang pandai tersebut dan berkumpul dengan anak yang tingkat kepandaiannya sama. 
Keempat, jenjang kelas. Pembagian kelas-kelas yang ada di sekolah membuat murid-murid selalu bersama dengan teman sekelasnya, tidak jarang mereka membuat kelompok-kelompok yang tersusun dari murid-murid di kelasnya. Misalnya siswa kelas I jarang kita jumpai berteman dengan kelas diatasnya seperti kelas IV,V,VI.
Kelima, agama. Peluang terbentuknya kelompok dapat berawal dari kesamaan agama, murid akan merasa nyaman dengan teman yang seiman. Apabila hendak melakukan diskusi keagamaan akan lebih mudah dan tidak berpikir panjang untuk menanyakan hal aqidah dengan temannya itu. Namun, menurut Abdullah Idi, “Hal ini bukanlah faktor dominan di kalangan anak sekolah.[11]
Keenam, asal daerah. Daerah yang sama terkadang mendorong siswa untuk berhubungan lebih dekat dibandingkan berhubungan dengan siswa yang memiliki daerah berbeda. Namun menurut Abdullah Idi, “Hal tersebut bukan merupakan factor dominan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar siswa di sekolah tersebut berasal dari daerah yang sama.”[12]
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, Abdullah Idi memberikan beberapa upaya yang dapat dilakukan pendidik atau sekolah untuk mengatasi masalah yang muncul dalam interaksi antar kelompok, di antaranya, sebagai berikut :
1.      Pemberian informasi, diskusi kelompok, hubungan pribadi, dan sebagainya.
2.      Guru dapat menceritakan bagaimana setiap kelompok itu sangat berpengaruh terhadap kelompok lain.
3.      Menanamkan nilai-nilai toleransi antar siswa.
4.      Membuka kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan interaksi sosial.
5.      Menggunakan teknik bermain peranan atau sosiodrama.
6.      Menggunakan kegiatan ekstra kulikuler.[13]

Jadi, masalah yang terjadi dalam hubungan antar kelompok dapat diselesaikan melalui pendidikan.  Di mana, dalam pendidikan diajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama manusia dan bagaiamana menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka kemampuan dalam menyelesaikan masalah semakin mudah diatasi.



BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan

1.    Kelompok adalah  sebagai suatu kumpulan dari  dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan terstruktur dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga mengakibatkan tumbuhnya rasa solidaritas antar sesama anggota.
2.    Menurut Homans dalam Abdul Rahmat mengemukakan bahwa ada tiga konsep tentang kelompok sosial, yaitu kegiatan, interaksi dan perasaan. Ketiga konsep tersebut dapat meningkatkan rasa solidaritas antar anggota kelompok.
3.    Masalah yang terjadi dalam hubungan antar kelompok dapat diselesaikan melalui pendidikan.  Di mana, dalam pendidikan diajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama manusia dan bagaiamana menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka kemampuan dalam menyelesaikan masalah semakin mudah diatasi.














DAFTAR PUSTAKA

Rahmat, Abdul. Sosiologi Pendidikan. Gorontalo: Ideas Publishing. 2012.
Idi, Abullah. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2013.
Nasution, S. Sosilogi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2010.
Sajogyo; Pujiwati Sajogyo. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gajah Mada University  Press. 1996.
Soekanto, Soerjono; Budi Sulistyowati. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2013.



[1] Abdul Rahmat, Sosiologi Pendidikan,Gorontalo: Ideas Publishing, 2012, hlm. 45.
[2] Abullah Idi, Sosiologi Pendidikan : Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 117.
[3] Sajogyo dan Pujiwati Sajogyo, Sosiologi Pedesaan,Yogyakarta : Gajah Mada University  Press, 1996, hlm 105.
[4] Abdul Rahmat, Op.Cit., hlm.45
[5] Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 116.
[6] Abdul Rahmat, Op. cit., hlm. 45.
[7]  S. Nasution, Sosilogi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hlm. 48.
[8]  Ibid., hlm. 49.
[9] Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Op.cit., hlm. 107.
[10]  Abdullah Idi, Op cit., hlm. 126-127.
[11] Ibid., hlm. 127.
[12] Abdullah Idi, Loc cit.
[13] Ibid., hlm. 128.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar