‘URF DAN DZARI’AH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen pengampu: Zaenal arifin, M.S.I
Disusun oleh kelompok 8:
1.
Fathul Darmawan (1410110053)
2.
Ristiana Nisa’ (1410110074)
Kelas: B
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsep bahwa Islam sebagai
agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani,
juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan
lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam
al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
S.Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, bahwa agama Islam sangat
memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi juris
prudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip
demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw.
Kebijakan-kebijakan beliau yang
berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan
kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat. Sehingga sangatlah
penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode
Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian ‘urf dalam kajian ushul fiqih?
2.
Apa saja macam-macam ‘urf?
3.
Bagaimana landasan hukum ‘urf?
4.
Bagaimana pengertian dzari’ah dalam kajian ushul fiqih?
5.
Bagaimana landasan hukum dzari’ah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Urf
Kata
‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh
akal sehat”. Menurut kebanyakan ulama, ‘urf dinamakan juga adat, sebab perkara yang sudah dikenal itu
berulang kali dilakukan manusia. Namun, sebenarnya adat itu lebih luas dari
pada’urf, sebab adat kadang-kadang terdiri atas adat perseorangan atau bagi
orang tertentu, sehingga hal ini tidak bisa dinamakan ‘urf. Dan kadang-kadang
terdiri atas adat masyarakat, maka inilah yang disebut ‘urf.[1]
Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa
sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa
dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat
nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
Perbandingan antara ’Urf dengan
’Adah[2]
’Urf
|
’Adah
|
Adat memiliki makna yang lebih sempit
|
Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas
|
‘Urf merupakan kebiasaan orang
banyak
|
Adat mencakup kebiasaan pribadi
|
‘Urf bukanlah kebiasaan alami,
tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman
|
Adat juga muncul dari sebab alami
|
Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak
|
B.
Macam-Macam ‘Urf
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam :
1.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada :
al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (
kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a.
Al-‘Urf al-Lafzhi.
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu
dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal
kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang
mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam
daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung
mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan
penggunaan kata daging pada daging sapi.
b.
Al-‘urf al-‘amali.
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau
mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain,
seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu,
kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan
kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun
yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam
melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat
dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah
pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar,
seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya
tambahan.
2.
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu
al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan
yang bersifat khusus).
a.
Al-‘urf al-‘am
adalah
kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan
diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan
untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk
dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
b.
Al-‘urf al-khash
adalah
kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat tertentu atau berlaku
pada suatu negara, wilayah, atau golongan.[3]
Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang
yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen
tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai
penentuan masa garansi terhadap barang tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan yang
berlaku di kalangan pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia
lakukan harus dibayar dahulu sebagian oleh kliennya. ‘Urf al-khash seperti ini,
tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan
situasi dan kondisi masyarakat.
3.
Dari segi keabsahannya dari pandangan
syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah)
dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
a.
Al-‘urf al-Shahih.
Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahtan mereka,
dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan
pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak
dianggap sebagai mas kawin, melaksanakan acara halal bi halal.
b.
Al-‘urf al-fasid.
Adalah
kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar
yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang
dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang, kebiasaan
berjudi setelah adanya kematian, mengadakan upacara penebaran makanan dengan
tujuan mendapat berkah.
C.
Landasan Hukum ‘Urf
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul
Fiqih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa
fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum
adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyyah, dan selanjutnya oleh
kalangan Hanbaliyah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinspnya
mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai
landasan pembentukan hukum. ‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan , antara
lain:
- Surat al-A’raf ayat 199:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang
yang bodoh.” (QS. Al-A’raf 199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia
disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang
baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut
dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik
sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
- Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hokum.
Para
ualama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak
bertentangan dengan syara’. Baik yang menyangkut dengan ‘urf al-‘am dan ‘urf
al-khas, maupun yang berkaitan dengan ‘urf al-lafzhi dan ‘urf al-‘amali, dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.
‘Urf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid yang
berjihad dan berfatwa, dan para hakim dalam memutuskan perkara disyaratkan
sebagai berikut:
a.
‘Urf tidak bertentangan dengan nash
qath’i. Oleh karena itu, tidak dibenarkan sesuatu yang sudah dikenal orang yang
bertentangan dengan nash qath’i, seperti makan riba.
b.
‘Urf harus umum berlaku pada semua
peristiwa atau sudah umum berlaku. Oleh karena itu tidak dibenarkan ‘urf
yang menyamai ‘urf yang lainnya karena adanya
pertentangan antara mereka yang mengamalkan dan yang meninggalkan.
D.
Pengertian Saddu Dzari’ah
Secara etimologi
dzari’ah bererti jalan menuju kepada sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan
Saddu Dzari’ah ialah:
حَسْمُ مَادَّةِ
وَسَائِلِ الْفَسَادِ دَفْعًالَهُ اَوْسَدُّ الطَّرِيْقِ الَّتِيْ تُوَصِّلُ
الْمَرْأَ اِلَى الْفَسَادِ
Artinya:
“mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau meyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada
kerusakan”.
Maksudnya, saddu
dzari’ah ialah menyumbat segala sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan.
Oleh karena
itu,apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan,
maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah atau disumbat agar tidak terjadi
kerusakan.
E.
Landasan Hukum Saddu Dzari’ah
1.
Qs. Al-an’am: 108
وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا
اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ
ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya:
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Sebenarnya mencaci
dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja bahkan jika perlu
boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan
menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah maka perbuatan
mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.
2.
QS. Al-Baqarah:104
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا
انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (Muhammad):
"Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan
"dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”
(QS. Al-Baqarah:104)
Orang-orang Yahudi menggunakan lafal رَاعِنَا untuk mencela atau mengumpat Rasulullah
Saw.. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin untuk mengucapkan lafal ini
agar dapat terhindar dari ungkapan yang kiranya dapat mencela RasulullahSaw.
Larangan menggunakan sarana tersebut adalah sadd al-dzarî`ah.
3. Qs. Annur: 31
وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ
زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
Dan janganlah mereka (perempuan itu)
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.
Sebenarnya menghentakkan kaki boleh-boleh saja bagi
perempuan namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi dapat
diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar maka
menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.
Dari contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu
boleh hukumnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Menurut kebanyakan ulama, ‘urf dinamakan juga adat sebab
perkara yang sudah dikenal itu berulang kali dilakukan manusia. Namun,
sebenarnya adat itu lebih luas dari pada’urf, sebab adat kadang-kadang terdiri
atas adat perseorangan atau bagi orangtertentu, sehingga hal ini tidak bisa
dinamakan ‘urf. Dan kadang-kadang terdiri atas adat masyarakat, maka inilah
yang disebut ‘urf.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan
bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat
kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila
tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan
dengannya.
Saddu dzari’ah
ialah menyumbat segala sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan. Oleh karena
itu,apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan,
maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah atau disumbat agar todak terjadi
kerusakan.
B.
Saran
Semoga
kita dapat mengambil hikmah dari apa yang telah kita bahas bersama, tentang ‘urf dan
dzari’ah.
Kami sadar
bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah kami, dan kami sadar
bahwa makalah kami masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Chaerul Umam, Ushul Fiqih 1,
Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Prof.Dr. Satria Effendi, M. Zein, MA, Ushul fiqih, Jakarta: Kencana, 2005.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam , Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Muhammad Abuzahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar